Suara kereta terdengar dikedua telinga sangat keras, mengubah pola berpikirku, tentang mereka yang mudik ke rumah menanti lebaran bersama keluarganya.
Keresahan hati dan pikiran telah menghilangkan semangatku untuk berlari sekencang mungkin, dari desa ke kota membawa buku selama empat tahun lamanya.
Takdir berkata lain, jalan yang ku tempuh selama ini, menutup cendela kamar dan membiaskan semua pengalaman-pengalaman pahit menyiksa diantara fajar-fajar tenggelam.
Kamar tidur ku penuh dengan tumpukan buku-buku karya dari penulis handal, buku yang ku kumpulkan empat tahun lamanya menjadi sampah tak berguna, hanya mengendap dalam pikiran membentuk sebuah retorika belaka.
Kebebasan dan kemerdekaan telah dirampas paksa oleh system pendidikan, pekerjaan membutuhkan satu butir kertas bersandang tinta hitam dalam map coklat, memohon-mohon depan pabrik dan industri.
Masa depan yang ku cita-citakan sejak dini, membahagiakan diri sendiri dan orang tua berujung nahas ditengah jalan, kecerdasan dan pengetahuan beresensi pada ketidak adilan dalam lingkup sosial kemanusiaan dan menambah beban sudut pandang masyarakat dengan tanda kutip "Pengangguran".
Pendidikan yang dinamis tertata rapi dapat memproduksi jutaan rupiah melimpah, rahmat dan keberkahan mencari ilmu dan mengamalkannya kepada orang lain hanyalah simbol berkedok bingkisan rupiah disetiap bulan, hanya mampu membeli segelas air dan sepuluk nasi sambal.
Hampir setiap hari, ku selalu linglung dengan keberadaan masa depan, masa depan bagaikan dewa di atas segala-galanya, menentukan arah kebahagiaan bukan kebijaksanaan menjadi pribadi manusia yang mampu memproduksi ide dan gagasan guna bertahan hidup penuh kemesraan.
Kini aku harus mundur dari pertarungan dan konsep pendidikan dalam penjara birokrasi, menjadi petani biasa, seperti orang tua yang hidup puluhan tahun di halaman rumah dan mendengarkan suara-suara hewan dipagi hari dengan penuh keikhlasan.