Ketertarikan terhadap sesuatu yang abstrak akan mengakibatkan fatal pada persoalan politik, mereka menganggap politik adalah uang yang melimpah, masuk relung dalam jiwa, bergeloranya kertas merah dalam amplop yang tersembunyi yang keluar pada waktu tertentu.
Kumpulkan massa demi suara, menghabiskan watu Ramadhan dengan adu mulut sesama tetangga, kehinaan akan tertutupi dengan sejuta kebaikan yang dirasa, bila mushola dan masjid menjadi tempat kampanye, apakah boleh berkata, bahwa agama tak lagi jembatan menuju Tuhan melainkan merebut kursi Desa.
Kehadiran rebut kursi desa serentak, menjadikan momok serius bagi khalayak masyarakat, mereka berbondong-bondong mencari keuntungan dalam menentukan pilihan, tak elok lagi, jika telah terjadi, Â mau dikemanakan desanya kalau lupa dengan Visi dan Misi yang dibawa.
Tak ubahnya diriku, hanya mampu melihat situasi dan kondisi, seperti dalam jeruji, tak bisa berkata apa-apa tentang perebutan kursi, tak bisa bergerak dengan kata pesta demokrasi, jika telah ternodai oleh amplop putih berisi 5 lembar kertas warna merah.
Bilamana tetangga sudah saling tuding atas keangkuhan, kelebihan dan kebenaran para calonnya, tak lain lagi, hilangnya sapa menyapa, tenggelamnya gotong royong, karena beda pilihan dalam merebut kursi kekuasaan yang mengakibatkan perpecahan.