Seorang ayah yang sukses didalam menjadikannya sebagai suri tauladan bagi putra dan putrinya. Tentu, tak hanya anaknya saja, melainkan seluruh orang yang mengenalnya pasti menilainya patut dijadikan sebagai suri tauladan, sebagai seorang bangsawan yang dermawan, rendah hati dan selalu mengayomi semua masyarakat pada tempo pemerintah kolonial Belanda menguasai bumi Pertiwi ini.
Anak laki-laki yang lahir pada Kamis Legi, 2 Ramadhan 1309 H atau bertepatan dengan tanggal 2 Mei 1889 M adalah anak dari golongan "Darah Biru" versi orang sekarang, karna dari pihak ibunya dia anak ketiga dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Harjo Surjo Soesroningrat atau masyhur dikenal Sri Paduka Paku Alam III. Dari pihak ayahnya pun masih terhitung Raden Mas Sundoro atau Sri Sultan Hamengkubuwono II.
Raden Mas Soewardi nama asli dari Ki Hajar Dewantara atau dengan julukan (Raden Mas Jemblung Trunogati) pada masa kecilnya, nama "jemblung" pemberian nama dari seorang ayah Ki hajar Dewantara yang penuh dengan keimanannya kepada Allah SWT. Nama "Jemblung" itu disandangkan pada Ki Hajar Dewantara pada masa kecilnya, sebab lahir dengan kondisi sangat kecil berperut buncit dang ringkih. Dan "Trunogati" penambahan nama dari seorang sahabat dekat yang dikagumi ayahnya karna dianggap sebagai ulama yang linuwih dan winasis. Dia bernama Kiyai Haji Soleman Abdurrahman.
Sejak kecil dia memang berbeda dengan saudara dan sepupu-sepupunya yang lain. Sebagai putra  bangsawan dia bukan hanya bergaul dengan saudara dan teman-teman yang sama dari keturunan bangsawan, dia juga sering bergaul dengan kalangan rakyat jelata.
Dia juga mempunyai sahabat dari golongan rakyat jelata yang bernama "Sariman". Meski dalam suatu tempo persahabatan dipertanyakan oleh Sariman.
"Apakah Denmas Soewardi tidak malu berteman dengan aku?" Tanya sariman dalam sebuah kesempatan.
 "Tidak, mengapa harus malu aku beteman dengan mu, man". Jawabnya.
Dia tidak pernah membedakan kasta dibalik pertemananya, sebab dia sering diajarkan oleh ayahnya kalau "kita itu memiliki kedudukan yang sama disisi Allah SWT", meskipun kamu dari seorang ningrat, karna hal itu tidak akan berdampak apa-apa dihadapan gusti kang gelar Jagad. Ayahnya sering mengajarkan juga, jika yang membedakan diantara kita dengan yang lain hanya iman dan takwa kita kepada-Nya.
Perkataan itulah yang menjadikan Soewardi "Ki Hajar Dewantara" tidak canggung, malah lebih asyik berteman dengan rakyat biasa.
Pada masa itu hanyalah golongan orang pribumi yang keturunan bangsawan saja yang bisa merasakan pendidikan, tak ada satupun dari golongan rakyat jelata bisa merasakan pendidikan, meski  mereka memiliki keinginan yang tinggi dalam mencari ilmu serta keingin mereka untuk mensejahterakan bangsa.
Kebiasaan sehari-harinya itupula yang menjadikannya tumbuh keinginan dalam hatinya agar supaya rakyat jelata itu bisa merasakan juga perjuangan untuk mencapai cita-citanya, sehingga dapat memerdekakan bangsa dari jajahan pemerintah kolonial belanda, yang kala itu mengolok pribumi dengan sebutan "Inlander" dan memperbudak masyarakat pribumi demi kepentingan negaranya sendiri.