Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Yogya Kota Mandeg

4 Agustus 2014   00:49 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:30 78 0
Pernah enam tahun lebih tinggal di Yogya untuk menuntut ilmu, aku sudah menikmati berbagai atribut yang disandang Yogya. Kota pelajar, kota gudeg, kota wisata, kota kesenian dan seabrek gelar lainnya.

Kota pelajar ? Itu julukan paling pas untuk Yogya. Mungkin ribuan anak rantau tinggal di kota ini demi menuntut ilmu. Mulai dari tingkat SMP, SMA hingga perguruan tinggi. Berbagai fasilitas untuk pelajar & mahasiswa memang tersedia lengkap di sini. Mau buku-buku impor yg sulit dicari, ada penjualnya, bisa pesan juga. Mau cari kost dengan harga dan fasilitas mulai harga berapapun ada. Mau beli buku bajakan dengan harga miring ada, tinggal melangkah ke Shopping Centre ( sekarang pindah ke sebelah Taman Pintar ). Tempat makan dengan harga sangat murahpun ada. Mau gabung dengan kelompok diskusi topik apapun ada. Jamanku belum dikenal forum internet. Diskusi2 ya dilakukan di kampus, warung angkringan sampai rumah kontrakan pinggir kali Code. Perkumpulan mahasiswa sesuai asal daerah juga lengkap. Ada pertemuan anak2 Boyolali, ada kelompok pemuda/i Hindu, dsb. Sarana fotocopy & jilid buka 24 jam. Kadang jika tugas baru selesai dikerjakan jam 3 dini hari, ruko fotocopy bisa diketok2 untuk special order.

Kota kesenian ? Itu juga sangat klop dengan Yogya. Pekerja-pekerja seni kelas jalanan menjual karya2nya di trotoar Malioboro. Kadang nimbrung mahasiswa2 ISI di situ. Ikut menjual hasil karyanya. Teater mahasiswa berbagai rupa sangat hidup. Di kampusku sendiri, ada kelompok teater Jaran Goyang, dikomandani mas Ahmad Hendarto, yg ngetop dg nama Dhalang. Kualitas karya2nya tidak kalah dengan ketoprak humornya Jaduk Ferianto atau Butet Kertaradjasa.  Tak terdengar lagi kiprah Jaran Goyang setelah mas Dhalang lulus.  Pameran lukisan, pembacaan puisi, pameran seni kriya, pagelaran wayang, rutin bergantian mengisi acara akhir pekan di Sasana Budaya.

Kota wisata ? Klop juga. Mau wisata gunung di Kaliurang, makan jadah dan tempe bacem sambil menikmati dinginnya udara gunung ? Atau mau menjelajahi pasir pantai ? Wisata budaya ke kraton, belajar membatik , menelusuri pemukiman lama di Kotagede sambil melihat pembuatan kerajinan perak juga ada. Wisata belanja murah meriah di pasar BeringHardjo juga asyik. Di mana lagi bisa membeli blus batik dengan tampilan OK hanya seharga 30ribu kalau bukan di Yogya ? Aku pernah membeli gelang unik seharga hanya 15ribu di Malioboro sementara di mal produk sejenis harganya ratusan ribu.  Bagi mereka yang suka pernak pernik unik, Yogya memang menarik dan ramah kantong.

Itulah sekilas gambaran Yogya masa lalu, serba nyaman. Tapi belakangan melihat kondisi yg ada, agak sedih, rasanya Yogya tidak mengalami perkembangan berarti. Jalan2 di Yogya nyaris tidak berkembang, kecuali beberapa tambahan jalan layang dan jalan lingkar. Selebihnya, jalan di dalam kota masih sama persis dengan kondisi tahun 80-an. Jalan Cik Di Tiro, C.Simanjuntak,Kaliurang, Malioboro dll, tak bertambah lebar sesentipun. Sementara jumlah sepeda motor dan mobil makin banyak. Tahun 80-an hanya beberapa mahasiswa yg bermobil, kebanyakan naik motor, sepeda onthel atau pakai angkot/bus. Maka masa itu berkendara di Yogya masih sangat nyaman, meski jalan tidak lebar.

Tapi sekarang, Yogya macet di mana-mana. Trotoar yang kutapaki di jalanan belakang Malioboro adalah masih trotoar bocel bocel yang kulewati puluhan tahun lalu. Malah semakin parah dengan banyaknya PKL di sembarang tempat. Malioboro ? Persis seperti pasar skala besar. Dari dulu sepeda motor memang parkir di trotoarnya. Tapi sekarang parkir sudah berlapis 3 bahkan 4. Pejalan kaki nyaris tidak punya ruang berjalan. Malioboro sama sekali tidak nyaman untuk pejalan kaki. Daya tariknya ya cuma bernostalgia dengan penjaja batik2 dan cindera mata di sepanjang trotoar sisi kanan. Setahuku, dulu pernah ada lomba penataan Malioboro, tahun 90-an. Artinya, itu lebih dari 20 tahun yang lalu. Ke mana itu tindak lanjutnya ? Mboten Ngertos.

Di kampus UGM tercinta, sepanjang jalan depan gedung pusat, aku dulu bisa olahraga jalan kaki atau sekedar lari, mau pagi atau sore nggak masalah. Sekarang ? Jangan harap ! Dari ujung ke ujung sudah penuh dengan tenda pedagang kaki lima. PKL yg sedang tidak berjualan, meninggalkan gerobaknya di trotoar begitu saja. Trotoar bagus yg dibangun pada masa almarhum rektor Koesnadi, sekarang menghitam, rusak di sana sini. Sangat menyedihkan.

Penerangan jalan di seputar kampus tak kalah mengenaskan. Hutan di depan gedung pusat tetap gelap gulita. Padahal dulu area itu banyak terjadi penjambretan sampai pencegatan oleh orang gila. Jalanan sekitar danau, kampus Kehutanan, Teknologi Pertanian sangat gelap. Jamanku dulu masih ada lampu2 jalan yg terang, sehingga melintas di waktu malam meski hanya naik motor masih aman. Sekarang ? Ih serem. Jalur ke jalan Grafika pun tak kalah gelapnya. UGM menjadi Universitas Gelap neMen ?

Jadi apa perkembangan yang berarti di kota Yogya ? Mal, hotel,cafe, toserba mini, resto, butik, dll menjamur. Jalan kaliurang sekarang mirip shopping street. Warung2 makan kelas mahasiswa entah ada di mana sekarang. Sudah digantikan dengan outlet2 Pizza Hut, Hokben, Dunkin dll. Itu saja kemajuan Yogya. Prasarana fisik untuk umum di dalam kota nyaris tidak terlihat. Yogya makin semrawut. Pembangunan mandeg. Apa yg terjadi ? Kota-kota lain berkembang, ada yg pesat ada yg lelet. Tapi Yogya  ? Seperti perpaduan tidak seimbang, prasarana tahun 80-an sementara kehidupan tahun 2000.

Ayolah pak Walikota, benahi kotamu. Masak sebegitu banyak orang pintar di Yogya tidak bisa diberdayakan untuk membuat kota yang lebih indah, asri, nyaman ? Pak Rektor UGM juga harus membuka mata pada kondisi seputar kampus, masak kalah dengan kampus universitas Muhamadiyah Yogya yg tertata apik dan megah ? Terang benderang pula.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun