Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Nyi Odax: Sosok Pejoang Perempuan Madureh

19 April 2011   00:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:40 371 0




Tulisan singkat di atas ditemukan di sebuah blog pribadi perempuan yang kerap menunjukan senyum manisnya pada orang yang dikenalnya. Perjuangan dan semangat hidupnya ia tulis juga dengan kalimat “Jadikan masalah sebagai bumbu kehidupan”. Demikian Odax, panggilan akrab Raudlatun Miftah, menulis kata mutiara profil pribadinya untuk buku kenangan peserta program Madrasah Rahima untuk Keadilan bagi aktivis mahasiswa.

Perempuan hitam manis kelahiran Sumenep 10 Pebruari 1986 ini adalah salah satu alumni prog­ram madrasah Rahima bagi aktivis mahasiswa. Dengan kata mutiara yang ditulisnya itu, perempuan yang pernah menulis artikel “Peran Politik Perempuan dalam Perspektif Agama” semasa kuliah di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta aktif diberbagai kegiatan kampus.

Salah satu kegiatan yang ditekuninya adalah sebagai aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Ciputat. Bahkan perempuan yang pernah mencalonkan diri sebagai kepala desa di kampungnya itu menjadi Ketua Korp PMII Putri (KOPRI) Cabang Ciputat periode 2006-2007. Menurut Odax “pemimpin itu tidak memandang jenis kelamin, karena pemimpin tanpa jenis kelamin. Setiap insanberhak untuk menjadi pemimpin.”Lebih lanjut Odax berpendapat “Jadi tak ada kata tidak untuk perempuan menjadi seorang pemimpin bahkan dalam Alquran dan al-Sunnah tidak ada satupun teks yang melarang perempuan menjadi pemimpin. Dan Siti Aisyah-pun menjadi seorang panglima perang pada waktu perang jamal dulu.” Demikian perempuan yang menulis di blognya “Pejoang Madureh” ini.

Selain aktif di “pergerakan”, perempuan yang pernah nyantri di pesantren Nurul Jadid Paiton Porbolinggo ini, waktu kuliah aktif juga diberbagai organisasi seperti di BEM UIN Jakarta sebagai Staf Ahli Menteri Gender, sebagai sekjend BEMJ Perbandingan Madzhab dan Hukum (PMH) Fakultas Shari’ah dan Hukum serta aktif pada organisasi kedaerahan sebagai Ketua Umum Forum Mahasiswa Madura Jakarta (FORMAD).

Selesai kuliah di UIN Jakarta, perempuan yang punya hobi membaca dan menulis ini ternyata tidak cukup puas hanya menggondol gelar S1. Ia meneruskan pendidikannya ke jenjang master di PAI-Fiqh IAIN Sunan Ampel Surabaya. Ketika ditanya tentang ulama perempuan, penyuka buku terkait gender ini berpendapat bahwa “ulama’ perempuan pada saat ini kualitasnya sudah sangat mumpuni. Bahkan para ulama’ perempuan juga ikut berkecimpung dalam sektor sosial, pendidikan, dan ekonomi, yang bisa kita istilahkan dengan Bu Nyai ataupun perempuan yang secara keilmuan sudah tidak bisa diragukan lagi.”

Odax menambahkan “mencari ilmu itu wajib bagi setiap insan, namun terkadang perempuan masih terkungkung dengan budaya yang ada. Sehingga sebagian masyarakat mengatakan ’perempuan gak usah sekolah tinggi-tinggi, toh nantinya ke dapur juga’.”Lebih lanjut menurut perempuan yang bercita-cita menjadi profesor bidang Fiqh ini “Persepsi tersebut sudah tidak relevan lagi saat ini karena mayoritas masyarakat sudah sadar akan pentingnya pendidikan. Jadi tuntutlah ilmu setinggi langit sampai kau meraih bintang di sana.”

Selain melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi, putri ke 2 dari pasangan Hj. Zakiyah dan H. Miftahol Arifin ini mengabdikan dirinya untuk pengembangan lembaga pendidikan di tempat kelahirannya, Sumenep. Ia mengajar Fiqh di MTs An-Najah Matanair Sumenep. Pengab­diannya di MTs tersebut mengangkat dia menjadi wakil Kepala MTs tersebut pada 2008 sampai sekarang.

Kegigihan dan semangat perempuan yang logat Maduranya masih kental ini untuk menun­jukan bahwa perempuan juga mampu menjadi pemimpin. Hal ini ia buktikan dengan menjadiKepala Madrasah AliyahAn-najah Matanair Ru­baru Sumenep.

Menurutnya “Pendidikan bagi perempuan sangatlah penting, hal ini sangat menopang pada kualitas perempuan. Sehingga dalam pendidikan itu tidak mendiskriminasikan antara laki-laki dan perempuan. Dengan pendidikan maka perempuan itu bisa membuktikan bahwa dirinya juga bisa menjadi orang yang berguna bagi yang lain. Sehingga stereotype masyarakat terhadap perempuan akan sirna begitu saja.”

Lebih lanjut ia berpendapat “masyarakat dan pemerintah harus mendukung pendidikan bagi perempuan sehingga pernikahan dini itu tidak terjadi lagi umumnya di Madura dan khususnya di Sumenep.”

Selain aktif mengembangkan pendidikan di lembaganya, perempuan yang juga mengajar Bahasa Inggris di MTs. An-najah Matanair ini, aktif juga memimpin Divisi Perempuan Lembaga Kajian Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPES­DAM NU) Sumenep. Sebuah lembaga otonom Nahdlatul Ulama. Menurut A. Dardiri Zubairi, mantan direktur LAKPESDAM NU Sumenep, “Odax mempunyai mobilitas yang tinggi, konsen dengan masalah perempuan dan penuh tanggung­jawab dengan tugasnya.”

Terkait dengan aktifnya di Lakpesdam NU dan wacana perempuan yang berkembang, Odax berpendapat “wacana perempuan tak akan pernah selesai, karena kungkungan budaya patriarkhi yang masih kuat membelenggu perempuan. Oleh karena itu, para pejuang perempuan harus mendalami wacana-wacana perempuan yang nantinya akan menjadikan perempuan berkualitas dengan sumberdaya sangat maksimal.”

Lebih lanjut Odax berpendapat “Wacana perempuan itu bagaikan casing dan isinya adalah sumberdaya perempuan itu sendiri. Maka jadilah perempuan yang berisi, agar tidak ada pelabelan negatif terhadap perempuan itu sendiri. Bangkitlah dan semangatlah menggali sumber dayamu wahai para srikandi.”

Semangat belajar dan kiprahnya untuk penguatan perempuan di wilayahnya semoga menjadi inpirasi bagi perempuan lainnya. Masalah dan rintangan dalam kehidupan tidak dijadikan sebagai penghalang bagi kemajuan perempuan tetapi menjadi bumbu kehidupan agar hidup lebih bermakna sebagaimana dituliskan Odax dalam kata mutiaranya“Jadikan masalah sebagai bumbu kehidupan”. Selamat berjuang kaum perempuan.



Tulisan ini diterbitkan juga di majalah Swara Rahima edisi khusus.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun