Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Alam & Tekno

Dari Antroposentrisme Ke Harmoni Kosmik: Menyuarakan Suara Alam Dalam Perbandingan Hukum

11 Mei 2024   23:40 Diperbarui: 11 Mei 2024   23:43 119 0
DARI ANTROPOSENTRISME KE HARMONI KOSMIK : MENYUARAKAN SUARA ALAM DALAM PERBANDINGAN HUKUM
Oleh
Maman Abdurohman
Edisi
Seni Hukum Bilba





I. PENDAHULUAN
"Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."
(QS. Al-Fatihah 1: Ayat 1)

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:



"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Aku hendak menjadikan khalifah di bumi." Mereka berkata, "Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?" Dia berfirman, "Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.""
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 30)

Di sisi lain dan selama berabad-abad, kajian hukum didominasi oleh perspektif antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segala sesuatu. Konsep ini separuh benar dan akan benar seluruhnya sepanjang dimaknai dengan manusia tetap memiliki kewajiban untuk menjaga keseimbangan alam dan tidak boleh merusaknya. Namun konsep antroposentrisme yang memiliki kecenderungan menempatkan manusia pada posisi superior dan dapat mengeksploitasi alam tanpa batas.

Sistem hukum yang kita kenal saat ini sebagian besar dibangun di atas fondasi pemikiran yang berpusat pada kepentingan dan kebutuhan manusia semata. Namun, dalam era di mana krisis lingkungan dan ketidakseimbangan ekosistem semakin mengkhawatirkan, kita perlu mempertanyakan kembali paradigma ini dan mencari alternatif yang lebih holistik.

Hukum, sebagai salah satu pilar penting dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, seharusnya tidak hanya merefleksikan kepentingan manusia, melainkan juga mempertimbangkan keselarasan dengan hukum alam yang mendasari seluruh tatanan kosmik. Hukum alam, yang mencakup prinsip-prinsip universal seperti keadilan, moralitas, dan keseimbangan ekologis, seharusnya menjadi fondasi bagi sistem hukum yang kita bangun.

Esai ini adalah bahwa meneguhkan peran hukum alam dalam diskursus perbandingan hukum merupakan langkah penting untuk mencapai harmoni kosmik yang lebih luas. Dengan menyuarakan suara alam dalam kajian lintas budaya tentang sistem hukum, kita dapat melampaui batas-batas antroposentrisme dan mengembangkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang keadilan, keseimbangan, dan tanggung jawab manusia terhadap seluruh ekosistem.

II. HUKUM ALAM DAN KRITIK TERHADAP ANTROPOSENTRISME

Konsep hukum alam (natural law) memiliki akar yang dalam dalam sejarah pemikiran filsafat dan teologi. Sejak zaman Yunani kuno, para filsuf seperti Plato dan Aristoteles telah menyuarakan gagasan tentang hukum alam yang bersifat universal dan abadi, yang berbeda dengan hukum positif yang diciptakan manusia. Dalam Islam, hukum alam disebut dengan istilah sunatullah, merupakan konsep bahwa Allah memiliki aturan aturan yang tetap dalam penciptaannya yang berlaku untuk seluruh alam semesta seperti yang dikemukakan pada firman Allah dalam Al Quran surat Al Ahzab ayat 62 dan Al Fat'h ayat 23, konssep ini mengacu kepada hukum-hukum yang berlaku di alam semesta.

Dalam tradisi kristen, pemikir seperti Thomas Aquinas mengembangkan konsep hukum alam sebagai refleksi dari hukum ilahi yang mengatur seluruh kosmos.

Hukum alam dipahami sebagai prinsip-prinsip fundamental yang mendasari seluruh realitas, termasuk kehidupan manusia. Hukum alam mencakup nilai-nilai universal seperti keadilan, kebenaran, kebaikan, dan keseimbangan ekologis. Hukum alam diyakini bersifat objektif, rasional, dan berlaku untuk semua makhluk, tidak terbatas pada manusia semata.

Namun, dalam perkembangan selanjutnya, kajian hukum didominasi oleh perspektif antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segala sesuatu. Sistem hukum yang kita kenal saat ini sebagian besar dibangun di atas fondasi pemikiran yang berpusat pada kepentingan dan kebutuhan manusia. Hukum positif yang diciptakan manusia seringkali mengabaikan atau bahkan bertentangan dengan hukum alam yang lebih universal.

Kritik terhadap antroposentrisme dalam hukum telah lama digaungkan oleh para pemikir ekologi-politik. Mereka menyuarakan perlunya paradigma baru yang menempatkan manusia sebagai bagian integral dari ekosistem, bukan sebagai entitas yang terpisah dan superior. Hukum, sebagai salah satu instrumen penting dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, seharusnya tidak hanya merefleksikan kepentingan manusia, melainkan juga mempertimbangkan keselarasan dengan hukum alam yang mendasari seluruh tatanan kosmik.

III. KETERBATASAN KAJIAN HUKUM BERPUSAT KEPADA MANUSIA

Sistem hukum yang berpusat pada manusia memiliki beberapa keterbatasan dalam memahami dan menyuarakan kepentingan alam. Pertama, pandangan antroposentris cenderung memandang alam semata-mata sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi demi kepentingan manusia. Hal ini mengabaikan nilai intrinsik yang dimiliki oleh alam dan makhluk hidup lainnya.

Kedua, hukum yang berpusat pada manusia seringkali gagal menangkap kompleksitas dan saling ketergantungan dalam ekosistem. Pendekatan yang terlalu parsial dan fragmentaris tidak mampu memahami dampak holistik dari tindakan manusia terhadap lingkungan.

Ketiga, sistem hukum modern yang didominasi oleh perspektif Barat cenderung mengabaikan pengetahuan tradisional dan kearifan lokal masyarakat adat yang memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang alam. Padahal, sistem hukum adat seringkali lebih selaras dengan hukum alam.

Keempat, hukum yang berpusat pada manusia sering kali terjebak dalam logika jangka pendek dan kepentingan sesaat. Orientasi pada pertumbuhan ekonomi dan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan mengabaikan aspek keberlanjutan dan keseimbangan ekologis.

Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk memperluas cakrawala hukum dengan mempertimbangkan suara alam dan membangun sistem hukum yang lebih holistik dan selaras dengan hukum alam. Hanya dengan demikian, kita dapat bergerak menuju harmoni kosmik yang lebih luas dan berkelanjutan.


IV. PERBANDINGAN SISTEM HUKUM DAN SUARA ALAM

Dalam kajian perbandingan hukum, kita dapat menemukan berbagai sistem hukum yang memiliki pandangan berbeda-beda terhadap relasi antara manusia dan alam. Beberapa sistem hukum menunjukkan kecenderungan yang lebih antroposentris, sementara yang lain memiliki perspektif yang lebih holistik dan mempertimbangkan hukum alam.

Sistem hukum Barat yang dipengaruhi oleh tradisi Yunani-Romawi dan Yudeo-Kristen cenderung lebih antroposentris, di mana manusia ditempatkan sebagai subjek hukum yang memiliki hak untuk menguasai dan memanfaatkan alam demi kepentingannya. Hukum positif yang diciptakan manusia seringkali mengabaikan atau bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum alam.

Di sisi lain, beberapa sistem hukum adat di Asia, Afrika, dan Amerika Latin menunjukkan pandangan yang lebih holistik dan menekankan keselarasan antara manusia dan alam. Dalam tradisi hukum adat, alam dipandang sebagai entitas yang memiliki hak dan kedudukan yang setara dengan manusia. Hukum adat seringkali didasarkan pada prinsip-prinsip hukum alam, seperti keseimbangan ekologis, harmoni, dan tanggung jawab manusia terhadap lingkungan.

Misalnya, dalam sistem hukum adat Suku Dayak di Kalimantan, terdapat konsep "hukum adat" yang mengatur relasi antara manusia, alam, dan roh-roh leluhur. Hukum adat ini menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara manusia dan alam, serta melarang eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam. Pelanggaran terhadap hukum adat ini diyakini akan mengakibatkan bencana dan ketidakseimbangan dalam ekosistem.

Perbandingan antara sistem hukum yang berpusat pada manusia dan sistem hukum yang lebih mempertimbangkan hukum alam dapat memberikan wawasan berharga bagi upaya mencapai harmoni kosmik yang lebih luas. Dengan menyuarakan suara alam dalam diskursus perbandingan hukum, kita dapat melampaui batas-batas antroposentrisme dan mengembangkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang keadilan, keseimbangan, dan tanggung jawab manusia terhadap seluruh ekosistem.

V. MENUJU HARMONI KOSMIK: MENYUARAKAN SUARA ALAM DALAM SISTEM HUKUM

Upaya untuk menyuarakan suara alam dalam sistem hukum merupakan langkah penting menuju terciptanya harmoni kosmik yang lebih luas. Hal ini membutuhkan pergeseran paradigma dari antroposentrisme ke pandangan yang lebih holistik dan ekologis.

Salah satu pendekatan yang dapat ditempuh adalah mengembangkan konsep "hukum alam" (natural law) yang lebih komprehensif dan inklusif. Hukum alam tidak hanya dipahami sebagai prinsip-prinsip universal yang mendasari kehidupan manusia, tetapi juga sebagai hukum yang mengatur seluruh tatanan alam semesta. Dalam perspektif ini, manusia adalah bagian integral dari ekosistem, bukan entitas yang terpisah dan superior.

Selain itu, sistem hukum positif perlu diformulasikan dengan mempertimbangkan keselarasan dengan hukum alam. Hukum yang diciptakan manusia harus sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan, kebenaran, dan keseimbangan ekologis yang terkandung dalam hukum alam. Hal ini dapat diwujudkan melalui pengembangan konsep "hukum bumi" (earth jurisprudence) yang menempatkan alam sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kepentingan yang harus dilindungi.

Upaya lain yang dapat dilakukan adalah mengadopsi perspektif hukum adat yang lebih holistik dan mempertimbangkan suara alam. Sistem hukum adat di berbagai belahan dunia dapat menjadi sumber inspirasi bagi pengembangan hukum yang lebih selaras dengan hukum alam. Melalui dialog dan pertukaran pengetahuan antara sistem hukum modern dan hukum adat, kita dapat menemukan jalan menuju harmoni kosmik yang lebih luas.

Pada akhirnya, menyuarakan suara alam dalam sistem hukum merupakan bagian dari upaya yang lebih besar untuk mencapai keseimbangan dan keselarasan antara manusia dan alam. Hal ini tidak hanya penting bagi kelestarian lingkungan, tetapi juga bagi kesejahteraan dan keberlanjutan umat manusia itu sendiri. Dengan mempertimbangkan hukum alam dalam sistem hukum, kita dapat bergerak menuju visi yang lebih luas tentang harmoni kosmik, di mana manusia dan alam hidup dalam keselarasan yang abadi.

V. KESIMPULAN

Perjalanan dari antroposentrisme ke harmoni kosmik merupakan tantangan besar bagi umat manusia di era saat ini. Kecenderungan manusia untuk menempatkan diri sebagai pusat dari semesta telah menimbulkan berbagai krisis ekologis yang mengancam kelangsungan hidup di planet bumi.

Melalui perbandingan sistem hukum, kita dapat melihat bahwa ada perbedaan mendasar dalam cara pandang terhadap relasi antara manusia dan alam. Sistem hukum yang berpusat pada manusia cenderung mengabaikan atau bahkan bertentangan dengan hukum alam, sementara sistem hukum adat yang lebih holistik mempertimbangkan keselarasan antara manusia dan alam.

Upaya untuk menyuarakan suara alam dalam sistem hukum merupakan langkah penting menuju terciptanya harmoni kosmik yang lebih luas. Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan konsep hukum alam yang lebih komprehensif, formulasi hukum positif yang sejalan dengan prinsip-prinsip keseimbangan ekologis, serta adopsi perspektif hukum adat yang mempertimbangkan suara alam.

Dengan menyuarakan suara alam dalam sistem hukum, kita dapat bergerak menuju visi yang lebih luas tentang harmoni kosmik, di mana manusia dan alam hidup dalam keselarasan yang abadi. Pergeseran paradigma dari antroposentrisme ke pandangan yang lebih holistik dan ekologis merupakan kunci untuk mencapai keseimbangan dan keberlanjutan bagi seluruh kehidupan di planet bumi.

Baik, setelah menambahkan bagian "Keterbatasan Kajian Hukum Berpusat Kepada Manusia", saya rasa perlu untuk memperbaiki bagian "Kesimpulan" agar lebih selaras dan komprehensif. Berikut adalah revisi pada bagian Kesimpulan:

Kajian hukum yang berpusat pada manusia memiliki keterbatasan dalam memahami dan menyuarakan kepentingan alam. Pandangan antroposentris, pendekatan parsial, pengabaian terhadap pengetahuan tradisional, serta orientasi jangka pendek dan eksploitatif telah membatasi kemampuan hukum untuk mencapai harmoni kosmik yang lebih luas dan berkelanjutan.

Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk memperluas cakrawala hukum dengan mempertimbangkan suara alam dan membangun sistem hukum yang lebih holistik. Integrasi pengetahuan tradisional, pemahaman akan kompleksitas ekosistem, serta orientasi pada keberlanjutan ekologis menjadi penting untuk mencapai keseimbangan antara kepentingan manusia dan alam.

Dengan demikian, transformasi paradigma hukum dari antroposentrisme menuju harmoni kosmik dapat membuka jalan bagi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh entitas dalam ekosistem. Hanya dengan cara ini, kita dapat memastikan masa depan yang lebih berkelanjutan bagi generasi mendatang.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun