[caption id="attachment_172746" align="aligncenter" width="480" caption="Terdampar adalah anugrah ©Mamak Ketol™"][/caption] Cahaya Sang Surya yang hangat menerpa sekujur tubuh Jangkar. Semilir angin pantai dengan keharumannya yang khas secara perlahan menyeruak masuk ke rongga pernafasannya. Jangkar belum juga terjaga. Kedua pelupuk matanya masih terpejam. Secepat kilat Sang Dewi menangkap momen itu. Dikecupnya bibir Jangkar dengan mesra. Jangkar terbangun, tersenyum lebar dan berujar, “Selamat pagi, Dewiku!” Celoteh dan kicau burung di pepohonan terdengar semakin nyaring, seolah-olah menyambut senyum riang yang terukir di kedua sudut bibir Jangkar. Di kejauhan terdengar deburan ombak yang berlari-lari kecil menuju pantai. Jukung yang terayun-ayun di tepian pun turut memeriahkan suasana pagi. Sambil menyipitkan matanya, Jangkar mencari-cari sosok lelaki muda. Kebiasaannya semenjak terdampar di pantai ini. Nun di bawah pohon ketapang tampak sosok Horas. Sepagi ini sudah cukup panjang pantai yang dikerjakannya. Setiap pagi, tugas Horas adalah membersihkan pasir dengan garu. Pasir di pantai itu kini membentuk gelombang yang sangat artistik. Lekukan-lekukan indah itu tak ubahnya seperti ombak pasir yang tampaknya sangat menantang untuk ditaklukkan. [caption id="attachment_172750" align="aligncenter" width="500" caption="Carpe diem, Horas! ©Mamak Ketol™"][/caption] Meski baru saja dirapihkan, sudah ada jejak-jejak kaki yang berselancar di pasir berombak itu. Mungkin bekas pijakan kaki Horas sendiri. Horas, pegawai tetap di kompleks hotel berbintang itu pernah bertutur tentang lahan penduduk, termasuk tanah turun-temurun keluarga besar Horas. Pantai yang dulunya adalah tempatnya bermain-main, kini telah menjadi tempatnya bekerja! Horas yang berpendidikan D3 itu adalah tukang sapu pantai.
Carpe diem, Horas. Jangkar mencermati ada sepasang tapak kaki yang tercecer panjang, mulai dari hotel menuju pantai. Di pantai yang lengang itu dilihatnya seorang lelaki muda, seumuran Horas. Sesaat kemudian, lelaki itu sudah berada jauh di tengah laut. Diperhatikannya lelaki “bule” yang sedang asyik bermain parasailing itu. Ombak dan angin yang bersahabat menjadi semangat untuk berolah-raga.
Carpe diem! [caption id="attachment_172753" align="aligncenter" width="500" caption="Bermain dengan ombak ©Mamak Ketol™"][/caption] Jangkar berjalan menyusuri pantai. Gemuruh ombak sambar-menyambar. Kakinya basah. Ada benda yang menarik perhatiannya. Tak begitu jelas wujudnya. Seperti kapal mainan dari kayu. Mungkin sesuatu yang dilarung di pantai. Benda itu tampak terombang-ambing. Terpaan air yang memerciki benda itu menguntai sebuah melodi nan mempesona sekaligus melenakan. Sesekali tonggak kayu itu turut meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti alunan musik yang tercipta seketika.
Carpe diem! Jangkar tersenyum. Sumringah mengenang masa mudanya. Sewaktu Jangkar masih gagah. Sewaktu Jangkar masih kuat berlayar mengarungi samudra luas. Berteman dengan burung camar dan ombak kecil. Bergulat dengan gelombang yang ganas. Berlabuh di dermaga dan menenggelamkan diri di dalam dasar laut yang dingin. Kehidupan masa lalu yang sangat dinikmatinya. Kini sudah menjadi kenangan indah yang sangat dinikmati dan disyukurinya. Tak sedikitpun pernah disesalinya. Sang Dewi sudah bertahta tinggi. Jangkar meninggalkan “kapal-kapalan” yang masih betah bercanda dengan air. Jangkar memutuskan untuk kembali ke tempatnya semula. Sungguh, terdampar di pantai adalah suatu anugerah.
Carpe diem!
KEMBALI KE ARTIKEL