Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story Artikel Utama

Yang Tertinggal dari Air Sanih

16 Maret 2010   00:00 Diperbarui: 4 April 2017   18:24 767 0
Tulisan ini saya dedikasikan untuk Ary Amhir yang Hidup Damai Bersama Kanker. Ary Amhir adalah travel writer favorit saya di Kompasiana. Kompasianer yang konsisten dan peduli dengan perempuan dan kaum marginal. [caption id="attachment_94623" align="alignleft" width="225" caption="Nyepi dimulai dari nol ©Mamak Ketol™"][/caption]

Karena suatu keperluan aku harus pergi ke Singaraja, ibukota kabupaten Buleleng di utara Bali. Sendirian. Kompasianer tentu ingat bentuk pulau Bali. Secara geografis, Buleleng adalah kabupaten yang terluas dibanding 8 kabupaten lainnya. Disini, transportasi gampang dan tidak menyesatkan karena rutenya dari barat ke timur mulu. Di waktu luangku, aku menyempatkan diri menjelajahi objek wisata yang murah meriah. Salah satu incaranku adalah Air Sanih.

Aku berangkat dengan berbekal brosur dari dinas pariwisata setempat. Informasi tentang Air Sanih dilengkapi dengan gambar kolam renang yang tampak seperti kolam renang umumnya. Hanya ada sebaris kalimat yang berbunyi: It’s a natural swimming pool fed by a natural spring located a few meters from the beach. Sungguh, sepotong foto kecil berukuran 6 cm x 3,5 cm, dan gambaran singkat tentang Air Sanih itu tak cukup membuatku memiliki pre-konsepi apapun terhadap pemandian alami ini. Tambahan, aku tak punya pengalaman mandi atau sekedar mengunjungi tempat wisata sejenis. Kalau kolam air hangat alam sih sudah pernah di beberapa tempat sebelumnya.

Dalam angkot, aku tersenyum-senyum sendiri mengingat kalimat John Collier Jr. dan Malcolm Collier: We see what we want to see, as we want to see, as we want to perceive it. (Visual Anthropology: Photography as a Research Method, 1990).Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara Pak supir angkot yang kutumpangi:

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun