Tahun 2009 saya menikah dan otomatis menjadi istri yang harus ikut suami. Tentu saja meninggalkan pekerjaan alias mengundurkan diri. Sesuatu yang tidak mudah dan butuh adaptasi.
Apalagi waktu itu tidak tinggal di negara sendiri. Rasanya sepi dan ngelangut, tak tahu harus apa. Untung ada laptop. Jadilah "desperate housewife" ini gabut sekali mengisi waktu panjang sambil menunggu suami pulang kerja.
Jaman itu saya "membunuh" waktu dengan main game, belajar masak, merajut, main saham, dan baca buku. Tidak semua berhasil tentu saja! (Kalau ingat masa-masa ini sungguh kocak!)
Akhirnya saya daftar Kompasiana loh! Seingat saya sekitar bulan Juni 2009. Pastinya bukan dengan nama MomAbel. Hehehe Waktu itu baru baca-baca saja. Belum ada keberanian untuk menulis. Hahaha...
Tapi kala itu membaca Kompasiana dan Kompas lumayan untuk mendapat informasi terkini di negara sendiri. Minimal tidak ketinggalan informasi.
Baru setelah punya anak di tahun 2011, tak sempat lagi baca-baca Kompasiana. Harap maklum sebagai new mom kagok dan stres! Lebih banyak cari artikel pengasuhan bayi dan mengurus anak.
Setelah si sulung melewati golden age, baru deh buka-buka Kompasiana lagi. Kemudian daftar lagi dengan nama pena yang akhirnya saya ganti MomAbel.
Tak lama dari itu, lahirlah anak kedua. Ya, kali ini malah lebih sering menulis. Di sela menunggu si bungsu tidur, banyak waktu yang menganggur. Jadilah, saya belajar menulis dari nol!
Sebenarnya saya sering membaca event Kompasianival dan lain-lain, tapi berhubung saya ini ibu-ibu kompasianer hore jadi tidak terlalu bisa mengikuti. Saya sendiri juga bukan pribadi yang mudah bergaul. Ada rasa malu untuk ikut ajang seperti itu. Wong penulis abal-abal juga kok!
Namun, sebagai kompasianer pastinya saya bisa mengamati perkembangan dan banyak perubahan yang ada. Dinamika blog keroyokan yang sangat dinamis. Terlebih di masa pandemi, saya lihat makin ramai saja!
Bagi saya pribadi, justru bagus. Artinya makin banyak orang yang menulis. Baik pelajar, mahasiswa, profesional, ataupun ibu rumah tangga seperti saya. Domisili kompasianer juga dari seluruh Indonesia.
Sungguh, saya bangga menjadi warga Kompasiana. Setidaknya Kompasiana sudi menampung suara ibu rumah tangga. Daripada membuat "noise" dengan tetangga, teman, atau di media sosial, bukankah lebih baik menuliskannya supaya menjadi bentuk "voice" yang baik, lebih bermakna, dan positif?