Lama-lama Na pusing memikirkan berbagai masalah yang menerjangnya beberapa bulan ini. Akhirnya diambilnya telepon genggam di meja. Na memencet first dial-nya : Ibu.
"Halo Buu... lagi mendidih ini..."
"Ah, kenapa pakai mendidih segala. Mbok wes lah, namanya orang hidup harus sabar," sahut Ibunya lembut.
Mendengar nasehat ibunya, Na langsung nyerocos tak karuan. Dia bukannya tidak sabar tapi eneg melihat muka-muka munafik. Sok alkitabiah, bawa-bawa ayat tapi rakus kalau masalah harta dan warisan. Ibunya tetap tenang seperti biasa.
"Ingat pesan bapak, nduk.. kalau masalah warisan jangan emosi. Kalau dikasih ya diterima, kalau tidak dikasih jangan minta. Tidak elok!" Ibu Na menasehati pelan.
"Bukan, Bu.. itu Na tahu. Na nggak peduli juga masalah warisan. Cuma Na kesal sama orang-orang ini, ribut terus. Tidak tahu diri sekali!"
Na menghela nafas sebentar. "Ibu tahu, kak Yen ini sudah macam tukang tagih utang saja. Padahal kita tidak berhutang. Justru dia berhutang sama kita. Ini orang ditulung tapi menthung, Bu.." keluh Na.
"Ibu tahu nggak dia mau jual warisan buat beli ini-itu, mau ini-itu. Memang bukan urusan saya. Tapi dia harusnya tahu kesulitan adiknya, buat sertifikat butuh biaya dan belum lagi status tanah ini masih tergadai dan harus ditebus dulu, Bu. Dia nggak mau tahu."
"Aku kesal mau minta lunasin balik saja utangnya. Parahhh... pantes ya Bu waktu ibu mas No meninggal tak ada raut sedihnya sana sekali. Cuma duduk santai tidak mau mikir apa-apa. Sekarang baru juga berapa bulan sudah ribut mau jual"