"Ayo foto dulu sama kakak... say cheese...." budhe Ar memberi aba-aba kepada anak dan ponakannya untuk bergaya.
Seperti biasa, Mel, keponakannya, mengangkat tangan dengan 2 jari membentuk huruf V sebagai gaya andalannya. Tiba-tiba budhe Ar menghentikan aktivitas memotret dengan ponselnya.
"Jangan 2 jari, nak! Satu... begini nih" ucapnya sambil mempraktekkan satu jari telunjuk saja. Mel, bocah berusia 7 tahun itupun menurut.
"Nah, gitu... ayo say cheese..." Budhe Ar semangat memencet ponselnya.
Na hanya tersenyum terheran-heran. Cuma jari tangan saja kok dimasalahin, batinnya. Biar saja anak-anak bebas berekspresi. Lha masalah politik itu kan urusan orang tua. Entahlah, Na kurang sreg urusan begitu saja kok jadi repot banget!
"Ampun deh, kakakmu... fanatik amat urusan politik! Sampai foto saja jarinya harus tunjuk 1, " kata Na kepada suaminya yang masih asyik menikmati makanan. Siang itu mereka rekreasi dan piknik di salah satu anjungan TMII.
"Ya begitulah... Ya, jangan samain kayak kamu yang apolitis. Cuek bebek urusan politik. Mama kan tahunya shopping, arisan, jalan-jalan, " ledek suami Na, masih sambil mengunyah makanan. Sementara budhe Ar sibuk mengajak "rombongan sirkus"nya jalan-jalan di sekitar tempat bermain. Pastinya disuruh foto lagi deh rombongannya!
"Aku tuh bukan cuek, tapi menurutku berpolitik itu nggak harus ngotot. Santai aja kali... selow gitu loh... , " balas Na.
"Segala sesuatu itu kan harus ada dasarnya. Jangan asal jeplak, asal share, asal posting! Idola boleh, fanatik boleh, tapi buta jangan. Apalagi sampai fitnah dan sebar hoaks. Lagi pula ya, kita ini kan cuma disuruh milih. Ya sudah pilih, nggak usah berantem, " timpal Na. Suaminya masih sibuk dengan makanannya.
"Hmmm... namanya orang lain-lain. Mungkin jiwanya politik kali, jadi ya terseret arus politik juga, " jawab suami Na. Benar-benar jawaban diplomatis. Na mengambil kelapa muda dengan es yang baru saja diantar oleh pelayan. Berbicara politik memang harus santai dan kepala dingin.
"Eh tahu nggak, dulu waktu jaman ospek kuliah, ada cerita lucu. Ini yang ospek universitas ya, bukan yang fakultas" kata Na memulai bercerita.
"Kenapa emang? Dapat gebetan?"
"Ih.. bukan ituuu..." Na sedikit sewot. "Ingat nggak ospek yang universitas? Itu kan gabungan dari berbagai fakultas. Aku sih diam aja. Yang dari fakultas lain itu berani dan jago semua kalau public speaking"
"Terus? "
"Ya itu.. ada yang bareng aku. Baik orangnya. Tapi begitu aksi apalah itu, kayak pura-pura demonstrasi gitu, dia ngawur!"
"Ngawur gimana?"
"Masa dia orasi tentang kenaikan SPP kuliah kaitan misi kerakyatan kampus, kok sebut pasal 33 UUD 1945! Ya kan nggak nyambung to? Hahaha... "
"Trus kamu nggak jadi naksir ya?"
"Ihhh... ini bukan masalah naksir. Aku baru tahu waktu itu, oalah ternyata kadang-kadang demo itu ya waton sulaya. Nggak semua mahasiswa itu orasinya bagus. Ilfil deh aku.. Bayangin dia ngomong berapi-api : bumi, air, dan kekayaan didalamnya... Â hihihi"
"Wakakak.... sebenarnya nyambung tapi kejauhan itu hahaha" suami Na tertawa, " tapi ada juga kok yang jenius dalam orasi. Kamu belum pernah nemu ya?"
"Belum. Kasih contohnya dong, ada di youtube nggak?"
"Ah, nggak usah ntar kamu malah jatuh cinta sama politik. Aku yang pusing!"
Obrolan tentang politik sekaligus masa lalu selalu menggelitik. Suami Na sudah menyelesaikan makannya. Mereka bergegas mencari anak-anak dan Budhe-nya yang gaul.
Politik oh politik... jauh sebelum ini sebenarnya Na masih suka dengan tayangan politik, baik berita atau talkshow. Entahlah, sekarang ini menjelang pilpres dan pileg dia mulai bosan dan muak. Too much drama! Begitu alasannya.