Ibu bilang namanya Yudhistira, lulusan salah satu perguruan tinggi swasta, sudah mapan, putra sahabat ayah ketika dulu masih aktif di TNI. Itu mukaddimah yang ibu katakan di sore yang basah selepas hujan, sebagai bab kedua dari maksud ibu dan ayah tentang keinginannya menjodohkanku dengan putra sahabatnya. Kunyahan roti bakar dimulutku menjadi lambat, hampir malas dan kalau saja tidak ada ibu mungkin sudah aku muntahkan. Mendadak dadaku menjadi penuh sesak, perutku seperti penuh akan apapun yang bisa memenuhinya, kepalaku seperti putaran rollercoaster, dan aku menjadi tuli untuk mendengar ucapan ibu selanjutnya. Tapi ini bukan saatnya untuk menangis.