Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat Pilihan

Filosofi Gerak antara Malas dan Ulok dari Pemikiran Bajo

22 Juni 2024   18:35 Diperbarui: 22 Juni 2024   18:50 131 5
Orang lain memahami kata malas dengan artian "tidak berniat dan atau tidak sama sekali mau melakukan sesuatu". Akibatnya, kata malas jatuh pada nilai  negatif. Maka tak jarang bagi orang malas dipersepsikan secara umum sebagai orang yang tidak baik.

Tapi orang Bajo di Dusun Mekko (selanjutnya ditulis Orang Bajo) tidak mau menelan mentah-mentah persepsi umum itu. Malah dengan sengaja mereka masukkan kata malas ke dalam bahasa Bajo. Maka di waktu yang bersamaan, terjadi reduksi kata ke budaya secara besar-besaran.

Ini artinya, orang Bajo telah menciptakan definisi khusus dari kata malas. Mulai dari arti, nilai kata, hingga jenis moral dalam sifat malas, berlaku berdasarkan pemikiran Bajo.

Bukan tanpa alasan pendefinisian khusus itu dilakukan. Semua tahu bahwa, arti kata yang merepresentasikan suatu gerak tidak terjadi secara ajaib. Definisi kata malas yang berkembang secara umum memang didesain oleh pihak-pihak tertentu di masa lalu.

Entah kebetulan, entah tidak, Bajo memang kritis dalam mengamati gerak demi gerak. Tak hanya gerak benda langit yang sering menjadi kompas orang Bajo dalam pelayaran. Mereka juga mempelajari gerak makhluk yang ada di darat maupun lautan termasuk gerak-gerik manusia.

Nah, gerak manusia, menurut pandangan Bajo, selalu bersubstansi pada pikiran. Semua anggota tubuh manusia mempunyai pikiran yang terkoneksi langsung dengan otak. Maka untuk memberi makna pada suatu gerak harus dimulai sudah sejak dari pikiran.

Sejarah menunjukkan satu-satunya orang malas ialah dia  yang tidak mau melakukan suatu gerak. Gerak yang dimaksud di sini ialah gerak yang disukai penguasa. Suatu gerak yang tak lain dan tak bukan ialah kerja yang menguntungkan penguasa.

Dengan begitu, penguasa di zaman dulu memang telah mendesain definisi kata malas sedemikian rupa. Mulai dari arti kata, nilai sifat malas, sampai pada jenis moral setiap pemalas. Ini terjadi jauh sebelum salah satu laki-laki Bajo beristrikan ratu di kerajaan pulau Sulawesi (1320-an M).

Memang tak bisa dipungkiri, masa sebelum itu keterkecohan manusia terjadi hampir di semua belahan dunia. Kebenaran terbesar harus bersumber dari mulut penguasa yang terhormat. Sehingga, ketika penguasa mengatakan "malas adalah perbuatan buruk", orang-orang pun mempercayainya sebagai suatu kebenaran.

Ini layak dianggap sebagai politisasi kata malas yang dilakukan oleh penguasa demi kepentingan pribadinya. Nah, penguasa-penguasa bersangkutan disebut oleh orang Bajo sebagai datu ma ulok. Datu artinya penguasa. Sedangkan ma ulok hampir berpadanan dengan gabungan kata yang lalai.

Namun, yang membedakan antara ulok dan lalai ialah faktor sengaja dan tidak sengaja pada subjek. Lalai dalam pemahaman umum dimaknai sebagai suatu perbuatan yang disengaja dan bisa juga tak disengaja.

Lain halnya dengan ulok. Ulok ialah satu gerak yang bersubstansi pada pikiran licik. Adalah penguasa  yang tidak sama sekali mau melakukan kewajibannya. Nah kewajiban orang ulok itu nantinya akan dikerjakan oleh orang lain dan tentu saja harus menguntungkan. Bahkan sekedar mencuci kaki harus dilakukan pula oleh orang lain yang tentu saja sudah terpedaya. Tak peduli pada keadilan, kemanusiaan, baik-buruk perbuatan dan lain sebagainya.

Memang sekilas terlihat agak rumit. Bagaimana cara datu ulok membuat kewajibannya dikerjakan oleh orang lain sekaligus bisa menghasilkan keuntungan? Ini pertanyaan sekaligus jawaban. Sebab, sepanjang peradaban manusia, setiap penguasa berperangai rakus selalu mempunyai akses kelicikan multifungsi.

Maka orang Bajo yang memahami fenomena itu lantas menentang habis-habisan datu ma ulok. Satu-satunya cara untuk tidak terseret menjadi budak datu ma ulok ialah dengan melancarkan gerak malas.

Sebetulnya Orang Bajo tidak sekedar keluar dari definisi umum mengenai kata malas. Mereka bahkan mengubah fungsi gerak malas sebagai perlawanan kepada datu-datu ma ulok.

Malah gerak malas itulah yang pernah menuntun orang Bajo tiba pada ide-ide. Mulai dari ide pembuatan soppek atau perahu khas Bajo, sampai pada gerak dalam pelayaran.

Sewaktu-waktu, soppek yang dirancang bakal berfungsi pula sebagai tempat tinggal mereka. Rumah yang setia menemani orang Bajo berlayar.

Pergi meninggalkan puncak-puncak gunung. Menjauh dari landasan-landasan pantai. Bergerak dari satu pulau ke pulau yang lain.
Seolah alergi dengan daratan yang dikuasai datu-datu ma ulok. Tabe!


Mekko 2024

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun