"Rindu itu perasaan apa keinginan, ya?" Sebab, pembicaraan soal rindu sendiri pun terkesan bolak-balik-mondar-mandir antara keinginan dan perasaan. Nyaris tak ada celah untuk sekedar konsisten menempatkan rindu sebagai 'khusus perasaan' maupun 'semata keinginan'.
Beberapa orang mungkin tak berani mengambil risiko dengan mengatakan "rindu adalah perasaan sekaligus keinginan". Dalilnya sederhana, yaitu keutuhan rindu. Perasaan dan keinginan tentu saja dua titik beda tempat. Maka mendefinisikan rindu sebagai perasaan sekaligus keinginan sama dengan membatalkan keutuhan rindu itu sendiri.
Bahkan penelitian terbaru dari beberapa cabang Sains yang berhasil menemukan sisi ilmiah rindu masih belum kuat dipegang. Temuan itu hanya layak disebut baru dan canggih berdasarkan teknologi pengintai saraf-saraf hewan monogami percobaan mereka. Bukan tidak mungkin hasil eksperimen yang dipublikasikan sekedar untuk mempromosi kecanggihan teknologi tertentu.
Ajaibnya, definisi yang kurang pasti dari pakar maupun ilmuan sudah diterima umum secara perspeptif. Beberapa perindu bahkan menganggap rindu itu semacam partikel paling rumit di seluruh tata surya ini. Ada pergolakan besar-besaran antara keinginan, perasaan, hasrat, dan harapan pada setiap kali kangen.
Bahayanya sudah merebak hingga ke pelosok-pelosok fiksi. Dilan dan Milea 1990, misalnya, tak mempunyai pilihan lain selain mempercayai "rindu itu berat". Maka dengan karakter percaya diri Dilan katakan "biar aku saja".
Otomatis hal tersebut mengundang pertanyaan-pertanyaan muskil. Disadari maupun tidak. Menggelinding di bawah langit-langit tempurung kepala kita.
Mengapa rindu itu berat? Yang berat itu rindu sebagai keinginan ataukah rindu sebagai perasaan? Jangan-jangan Dilan sendiri sebetulnya sedang dilema. Dilema lantaran tak pasti harus berpihak pada rindu sebagai keinginan ataukah rindu sebagai perasaan.
Sementara kita hanya wajar mencurigai sebagai pembaca dan penonton tanpa boleh menyalahkan Dilan. Dilan hanyalah tokoh dalam fiksi. Yang berpotensi salah karena keseringan keliru, barangkali tokoh-tokoh yang terlanjur merealita ini. Yang dengan seenaknya mendefinisikan rindu tanpa memastikan letak ada rindu secara ontologis.
Maka tak berlebihan kiranya bila mengatakan "rindu gagal utuh dalam definisi yang tak kunjung final". Termasuk Dilan yang mengatakan "rindu itu berat", bisa dimaknai sebagai representasi dari dilema manusia. Di mana konstruksi pikiran di balik kalimat pernyataan rindu mana pun selalu standar. Dari fiksi sampai non-fiksi.
Rindu memang berat sehingga tak cukup bila hanya disebut sebagai keinginan. Butuh perasaan, harapan, hasrat, dan masih banyak lagi pusat sebagai tempat menggantung rindu.
Ini bermula dari pikiran relativisme tokoh-tokoh tentu yang merelativisasi objek demi objek termasuk rindu.
Kita memahaminya sebagai ambiguitas. Dilema buktinya. Tabe!
Mekko 2024