Sangat sulit membantah kemungkinan komunisme tidak menjadi ancaman. Meski berbagai pihak meyakini ajaran ini tidak mungkin bangkit lagi, namun tidak ada jaminan jika di tengah keterpurukan kaum miskin dan marjinal, ajaran ini akan mendapat tempat di hati masyarakat. Mengutip teori Marxis, bahwa komunisme akan tumbuh subur di tengah kemiskinan semakin menganga lebar.
Beruntung, Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas umat Islam. Sedikit banyak, ajaran iniĀ ditolak oleh mayoritas rakyat Indonesia. Namun, di wilayah wacana pemikiran, ajaran ini memiliki tempat di kelompok-kelompok berpendidikan. Sebutlah Universitas Bung Karno (UBK) yang secara terang-terangan mendeklarasikan sebagai kelompok sosialisme. Ajaran sosialisme merupakan manifestasi mazhab ekonomi dari paham komnusime. Artinya, jika komunisme berisi tentang ajaran politik, maka sosialisme menekankan tentang ajaran ekonominya. Keduanya saling berkaitan dan selaras untuk menjadi sebuah aliran ideologi yang bertumpu pada kesejahteraan komunal. Bahkan, kampus ini kerap menggelar pertukaran budaya dan mahasiswa dengan pemerintah Korea Utara yang negaranya berlandaskan komunisme.
Sondang Hutagalung, mahasiswa berusia 22 tahun telah meregang nyawa karena aksi bakar diri di depan Istana Negara. Meski motifnya belum terungkap, namun bisa dipastikan di balik itu ada pesan yang ingin disampaikan dan pastinya sarat politik. Ada yang menarik dari Sondang dan kawan-kawannya itu, yakni sebutan kelompok kiri. Apa yang dimaksud dengan kelompok kiri? Jika merujuk pada komentar ahli bahasa, Kasijanto Sastrodinomo (Majalah Tempo, 30 Mei- 4 Juni 2011) istilah kiri berawal dari keadaan sidang parlemen pasca-Revolusi Prancis 1789. Saat itu, terdapat tiga kekuatan politi, yakni kekuatan konservatif, radikal dan moderat.
Kelompok pertama menghendaki agar Prancis tetap mempertahankan sistem monarki, sebaliknya kelompok kedua ngotot menuntut republik, dan kelompok ketiga di antara keduanya. Dalam sidang-sidang, kubu konservatif duduk bergerombol di kanan ruang sidang, sedangkan kubu radikal berkumpul di kiri, dan moderat di tengah. Saat itu kubu radikal bertindak sebagai oposisi. Dari sinilah lahir istilah kelompok/kubu kiri, kanan, dan tengah.
Di Indonesia, istilah kiri ini kemudian diafiliasikan dengan kelompok-kelompok prokomunis dan sosialis. UBK adalah salah satu kampus yang ajaran komunis bersemai indah di dalamnya, dan diterima dengan terbuka oleh para mahasiswanya. Apa yang bakal terjadi selanjutnya setelah Sondang melakukan aksi bakar diri? Bisa dipastikan gelombang unjuk rasa mahasiswa akan semakin membesar. Apalagi Ketua Dewan Penyantun UBK Rizal Ramli sudah menginstruksikan para mahasiswanya untuk tidak berhenti berdemonstrasi, dan melanjutkan "perjuangan" Sondang Hutagalung. Statemennya bisa dilihat di http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/12/11/103969/Rizal-Ramli-Berharap-Mahasiswa-Teruskan-Perjuangan-Sondang.
Rizal Ramli tentu memiliki kepentingan politik dengan agenda mahasiswa ini. Dengan dalih kinerja SBY-Boediono tidak beres, Rizal Ramli bisa menjadi motor penggerak aksi mahasiswa yang lebih besar lagi. Bahkan, konsolidasi gerakan-gerakan mahasiswa terjadi antarkampus dan terus menguat. Beberapa kampus yang lebih "hijau" dan "kanan" seperti UI, UNJ, ITB, UGM dan IPB belum tentu mau menerima ide-ide kelompok mahasiswa kiri ini. Rizal Ramli pun sepertinya harus bekerja lebih ekstra untuk menyatukan visi dan misinya itu.
Meski belum ada kesepakatan tertulis, istilah "kiri" selalu ditujukan kepada kelompok-kelompok yang berseberangan dengan pemerintah. Dalam bahasa populernya: kelompok oposan. Hingga saat ini, melekatnya kata "kiri" pada kelompok komunis karena kelompok inilah yang menentang secara radikal pemerintah yang mapan. Dalam sejarah pergerakan mahasiswa di Indonesia, aksi bakar diri Sondang Hutagalung adalah yang paling radikal. Bahkan, dibandingkan dengan kelompok mahasiswa yang berhaluan kanan (Badan Ekskutif Mahasiswa atau KAMMI) aksi-aksi kelompok mahasiswa kiri ini memang kerap menimbulkan chaos dan destruktif. Kalau tidak bakar ban di tengah jalan, maka bentrok dengan polisi menjadi agenda pilihan lainnya saat berunjuk rasa.
Pertanyaan selanjutnya, sejauh mana intelijen bisa membaca gerakan politik ini? Tentunya kita berharap di pundak Kepala BIN Letjen TNI Marciano Norman, segala kemungkinan yang berbau ancaman terhadap NKRI bisa ditumpas secara dini. (*)