Misalnya, Forum Kota (Forkot) dan Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi & Demokrasi (Famred) adalah dua organisasi mahasiswa non-senat yang menjadi motor penggerak reformasi di Indonesia. Pada tahun 1998, kedua organisasi ini kerap melakukan aksi-aksi mahasiswa yang sering berakhir dengan bentrok. Tokoh-tokoh kedua organisasi tersebut adalah Adian Napitupulu dan Bernard.
Waktu berlalu dan musim pun berganti. Isu-isu yang ditawarkan kedua organisasi mahasiswa itu pun sudah tidak populer lagi. Sebagian dari mereka kemudian membentuk organisasi Bendera (Benteng Demokrasi Rakyat) yang memiliki tagline Revolusi Indonesia. Entah apa yang dimaksud dengan revolusi di sini, namun bisa dipastikan adalah menggulingkan pemerintah yang sah. Salah satu yang sempat menyedot perhatian publik adalah data yang dikeluarkan Bendera terkait megaskandal Century yang melibatkan Partai Demokrat.
Mantan aktivis Forkot dan Famred ini kemudian melebur ke sejumlah partai politik. Beberapa di antara mereka masuk ke PDI Perjuangan dan juga partai-partai berhaluan nasionalis. Elit-elit Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang memiliki kesamaan ideologi dengan organ mahasiswa berhaluan kiri ini, juga ditarik untuk bergabung dengan sejumlah partai besar. PRD pun kemudian berakhir dan bubar.
Gerakan mahasiswa selalu muncul sebagai pelopor dari sebuah aksi perlawanan yang memicu dukungan serta aksi-aksi sejenis dari unsur-unsur sosial politik lain. Dalam eskalasi gerakan, kekuatan mahasiswa akhirnya harus beraliansi dengan unsur-unsur kekuatan lain hingga tujuan perjuangannya tercapai. Model gerakan mahasiswa, khususnya yang terorganisir dan radikal, umumnya diilhami atau dilandasi oleh suatu ideologi tertentu. Biasanya ideologi yang dianut adalah antitesa dari ideologi kemapanan yang dianut negara.
Kelebihan mahasiswa untuk menggerakkan dan mengarahkan perubahan sosial amat disadari oleh kelompok-kelompok elit. Semisal barisan Rizal Ramli cs yang menyadari betul menggunakan para mahasiswa ini untuk menggapai target dan tujuan pribadi dan kelompoknya. Mahasiswa memiliki dua kelebihan, yakni kecerdasan dan usia produktif. Kedua ini bisa digunakan untuk menggerakkan apa yang menjadi keyakinan dan keinginan mereka.
Runtuhnya Orde Lama dan Orde Baru pun akibat gerakan mahasiswa yang intens dan massif di seluruh kampus. Di era reformasi, senat mahasiswa ternyata tidak mampu menampung aspirasi mayoritas mahasiswa. Adanya Nasionalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) menjadi duri dalam pergerakan mahasiswa. Beberapa aktivis kemudian mendirikan organisasi mahasiswa non-kampus yang kemudian mendapat simpati dari berbagai kalangan.
Senat Mahasiswa, di awal-awal reformasi, juga tidak mau kalah. Mereka mendirikan Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ). Mengapa hanya Jakarta? Karena saat itu, ibukota menjadi barometer pergerakan mahasiswa. Artinya, apa yang terjadi di Jakarta, akan menjadi cerminan di beberapa kota besar lainnya, seperti di Makassar, Surabaya, Medan dan Semarang.
Saat ini, di tengah sepinya pergerakan mahasiswa, publik kembali dibuat tercengang dengan apa yang dilakukan Sondang Hutagalung. Aksinya pun terbilang nekad dan radikal, yakni membakar diri di depan Istana Negara. Meski belum tahu motifnya, namun beberapa pihak meyakini aksi itu memiliki pesan politik. Rizal Ramli pun mengaitkannya dengan perjuangan mahasiswa yang harus dilanjutkan oleh mahasiswa UBK lainnya.
Uniknya, aksi mahasiswa UBK ini seperti tidak mendapat respon dari beberapa mahasiswa lain. Sebut saja lima kampus besar, UI, ITB, UNJ, UGM dan IPB. Kelima kampus ini sudah dikuasai oleh mahasiswa "hijau" dan "kanan". Disebut demikian, karena mayoritas aktivis mahasiswa di kampus-kampus ini berafiliasi pada gerakan Islam. Kelompok-kelompok Lembaga Dakwah Kampus (LDK) menguasai kelima kampus besar itu sejak dari awal reformasi.
Pesan melalui aksi bakar diri ini tidak ditanggapi baik, karena di kalangan mahasiswa "Islam" ini sudah mafhum siapa dan apa di belakang Sondang. Kelompok kiri yang kerap menyuarakan isu-isu komunisme dan sosialisme menjadi bertabrakan dengan kepentingan mahasiswa "hijau" dan "kanan" itu. Apalagi, Partai Demokrat yang berhasil merangkul PKS, sedikit banyak akan mengurangi gesekan politik di arus mahasiswa. Kecuali, jika kemudian PKS mendeklarasikan sebagai partai oposisi, bisa jadi kelompok mahasiswa kanan ini akan memainkan isu Sondang di tengah percaturan politik dalam negeri.
Seperti sudah ditulis di awal, gerakan mahasiswa akan selalu bertalian dengan kondisi realitas politik. Dan, kondisi realitas politik ditentukan oleh para elit-elitnya. Jika sudah tidak bisa ditangani dengan baik, baru kemudian militer mengambil alih, dan atas nama stabilitas politik nasional, militer merasa berhak memberangus semua yang menjadi ancaman, termasuk gerakan mahasiswa tersebut. (*)