Mohon tunggu...
KOMENTAR
Olahraga

Andaikan PSSI Punya Seorang Jokowi

31 Oktober 2012   20:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:09 2884 3
Tulisan ini bukan bicara politik tentang PSSI, meski banyak yang mengkaitkan kepentingan politik di tubuh organisasi sepakbola yang kisruhnya seakan tak pernah henti. Pada masa kepemimpinan Nurdin Halid selama dua periode selalu dikaitkan dengan Golkar, meski tak jelas korelasinya bagi perolehan suara partai itu saat Pemilu.

PSSI bukan sembarang organisasi, meski kedudukannya sejajar dengan federasi atau asosiasi olahraga yang lainnya. PSSI merupakan organisasi yang menangani persepakbolaan, cabang olahraga yang paling popular di Indonesia. Satu-satunya yang mendapat porsi siaran langsung paling banyak ketimbang yang lain, dan stadionnya dipenuhi penonton terutama dalam pertandingan klub-klub Indonesia Super League (ISL).

Soal pemberitaan di media, dari cetak, televisi sampai dunia maya, jangan tanya. PSSI menduduki peringkat teratas soal itu, entah lewat perseteruan dengan anggotanya yang tergabung dalam KPSI (Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia) atau cuap-cuap tokoh-tokohnya. Bahkan di tubuh pengurusnya tak jarang saling silang pendapat, entah soal kebenaran yang dipegangnya atau tak mau kalah publisitas di media.

Kenapa PSSI perlu seorang Jokowi? Bukan berarti Jokowi harus menjadi Ketua Umum PSSI menggantikan Djohar Arifin yang dipilih lewat Kongres Luar Biasa (KLB) di Solo atau La Nyalla Mattaliti lewat kongres di Jakarta. Namun PSSI perlu pemimpin yang mau turun dan menyapa rakyatnya seperti yang dilakukan mantan walikota Solo itu : blusukan (keluar masuk) gang-gang sempit, pasar yang becek atau mau disapa tanpa perlu protokoler berlebihan.

Tentu juga Ketua Umum PSSI tak perlu meniru persis seperti itu, karena kantor pengurus provinsi atau cabang dan klub-klub tidak berada di gang-gang kumuh, bau dan becek. Kunjungan ini sifatnya (tentu bukan mendadak alias sidak) bisa ke kantor mereka, atau jika kurang terasa enak karena mungkin belum ada ac ya bisa di hotel mewah atau sekedar kongkow-kongkow saja di kafé.

Selayaknya pemimpin, ketua umum mendengarkan masukan, keluhan atau protes dari para pengurus sepakbola, Pembina, pelatih dan pemilik klub. Tidak hanya sekedar mendengar atau berperang kata di media yang membuat rakyat makin gerah.

Apakah hal itu sulit dilakukan karena dana? Tentu tidak! Ketua Umum PSSI, Djohar Arifin yang bergelar profesor dengan segudang pengalamannya (pernah menjadi pemain, wasit, ketua Pengda Sumut hingga staf ahli Menpora) dikenal suka bepergian. Bukan jalan-jalan seperti anggota DPR atau menteri yang membawa anggota keluarga dan koleganya menggunakan uang rakyat, tapi dalam rangka dinas dan memenuhi undangan. Tak heran jika ada julukan baru buat sang profesor yakni Mister Traveling.

Sah-sah saja perjalanan itu karena demi kepentingan organisasi, menghormati undangan pihak partner apalagi organisasi induk seperti FIFA dan AFC. Namun masalahnya menjadi berbeda ketika urusan rumah tangga terbengkalai dan hingga kini belum selesai dalam masa kepengurusannya yang baru berumur satu setengah tahun ini.

Sampai-sampai harus ada pihak ketiga yang turun tangan sebagai penengah yaitu AFC dan keluarga yang bertikai menandatangani perjanjian. Isi perjanjian atau MoU inipun belum terimplementasikan secara nyata hingga kini.

Tak cuma soal pelaksanaan MoU saja, tapi masalah lain juga tetap menunggu seperti penyelesaian kompetisi IPL (Indonesia Premier League) yang dibentuk sendiri oleh PSSI sebagai kompetisi atau liga yang sah, dengan penunjukan PT Liga Prima Sportindo Indonesia (LPIS) sebagai penyelenggaranya.Semestinya daripada sibuk traveling kesana kemari, Djohar Arifin meluangkan waktu sepenuhnya untuk membereskan permasalahan yang ada sehingga tidak terkesan menghindar.

Ini masalah kemauan, bukannya soal kemampuan. Jika memang berniat sungguh-sungguh melakukan rekonsiliasi, dan ditawan kesibukan, bukankah sebagai ketua umum punya wakil, punya anggota Exco atau pengurus lainnya untuk mewakili dirinya dalam urusan traveling. Bukannya mereka hanya bertugas berbicara ke media, yang ujung-ujungnya pada pencitraan pula jadinya. Apa bedanya juga dengan La Nyalla Mattaliti yang oleh kubu Djohar ARifin sendiri dijuluki Mister Konperensi Pers?

Bila niat baik rekonsiliasi hanya lewat media, tanpa mau bertemu langsung untuk berkomunikasi, bukankah itu hanya perang kata saja jadinya?. Itulah yang terjadi selama ini di PSSI.

Sulit untuk seorang pemimpin PSSI seperti Jokowi karena ego makin membelenggu dirinya masing-masing. Bertemu anggotanya di hotel mewah saja tak mau apalagi harus blusukan ke gang-gang atau jalanan yang becek di pasar tradisional.
NB:Copas Dr Tabloid Bola

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun