Ini tentu bukan kabar atau berita baru yang masuk ke telinga kita selama 5 tahun terakhir. Bukan Cuma satu anggota DPR yang tertangkap tangan melakukan korupsi lalu terjerat berat dengan undang-undang yang mereka buat sendiri. Yang menarik perhatian saya adalah satu bagian lain dari komentar si ibu yang saya lupa namanya : Kampanye dipenuhi goyangan erotis, yang dua tahun lalu mereka coba perangi dengan UU Pornografi.
Ini satu bagian yang membuka mata saya, dan menciptakan sedikit tawa. Sekali lagi bukan karena ini kabar atau berita baru, tapi karena saya ingat betul apa yang mereka, anggota DPR yang berada dibelakang UU Pornografi saat itu teriakkan. Mereka mendasarkan UU Pornografi pada aspirasi agama mayoritas, aturan yang seperti akan meluruskan bangsa dan menyelamatkan negara dari kehancuran akibat degradasi moral yang disebabkan pelaku pornoaksi. Aturan yang meletakkan posisi mereka pada posisi nabi, sekelompok orang penerus pesan Tuhan, dengan asumsi rakyat lupa salah satu anggota mereka sendiri terlibat skandal video porno beberapa bulan sebelumnya.
Lalu tahun ini kampanye dipenuhi goyangan erotis? Terletak tanda tanya karena bentuk kampanye seyogyanya dibuat untuk menarik suara mayoritas rakyat. Suara mayoritas yang dua tahun lalu menurut DPR membenci goyang erotis sebagai salah satu bentuk pornoaksi. Lalu apa kampanye yang dipenuhi goyangan erotis tahun ini lalu sepi penonton? Sepi pengunjung? Apa para calon anggota Legislatif & Calon Presiden lalu malu berkampanye? Kelihatannya tidak. Lalu suara mayoritas siapa yang mereka wakili dua tahun lalu, menghabiskan dana pembuatan Undang-Undang untuk sesuatu yang mungkin belum perlu menjadi prioritas nomor satu?
Saya tidak mendukung pornografi atau pornoaksi, saya mendukung kejujuran dalam berpolitik. Dan meletakkan imej DPR, seluruhnya, sebagai orang-orang munafik adalah salah besar. Saya yakin tidak semua partai atau caleg yang meggunakan materi seksualitas sebagai penarik massa untuk kampanye tahun ini. Tapi dengan definisi pornografi sebagai "materi seksualitas yang dapat membangkitkan hasrat seksual", apapun, termasuk seorang wanita dengan pakaian lengkap beserta partai yang diwakilinya bisa disangka pelaku pornografi. Apapun. Termasuk Partai Islam. Dan ini yang mereka resmikan melalui sidang dua tahun lalu. Menciptakan UU dengan kualitas rendahan sebelum waktunya. Dengan uang kita.
Kontrol pemerintah mungkin memang dibutuhkan untuk mengontrol pornografi, tapi pertama-tama dibutuhkan kedewasaan dari semua pihak. Mendasarkan pembuatan undang-undang pada kalimat perlindungan seorang pemerkosa yang beralasan VCD Porno sebagai pemicu perbuatan imoralnya adalah kekanak-kanakan. UU Pornografi harusnya dibuat dengan dasar melindungi rakyat yang belum bisa membedakan apa yang benar dan yang salah. Untuk anak-anak, misalnya. Lalu dengan definisi dan kualitas perundangan yang jauh lebih baik dari ini. Begitu banyak loophole pada Undang-Undang ini, bahkan pada definisi terdasarnya.
Lalu sekarang, toh RUU itu telah jadi Undang-Undang yang bisa digunakan untuk menjerat mereka yang melanggar. Bukti banyaknya "materi seksualitas" dalam kampanye Caleg ataupun Parpol sangat gampang didapatkan di internet. Parpol yang dua tahun lalu menikmati posisi sebagai "nabi" kini telah melanggar titahnya sendiri. Ya, mungkin mereka memang nabi. Tapi dalam atmosfer Demokrasi, Kita adalah Tuhannya.