Suara Tuhan” adalah slogan yang acap
diusung oleh para pengikut demokrasi.
Pepatah kuno bahasa Latin itu memang
menggambarkan pengagungan yang luar
biasa terhadap prinsip kedaulatan rakyat
dalam demokrasi. Sedemikian tinggi posisi
suara atau aspirasi rakyat hingga
diserupakan dengan suara atau kehendak
Tuhan. Karena itu suara rakyat mutlak
harus diperturutkan, tidak boleh diabaikan.
Namun, benarkah setiap suara rakyat pasti
mencerminkan kehendak Tuhan?
Seperti sudah dipahami, inti dari
demokrasi adalah prinsip kedaulatan
rakyat. Rakyat, melalui wakil-wakilnya di
parlemen, menetapkan peraturan
perundangan guna mengatur mana yang
harus dilakukan dan mana yang tidak
boleh dilakukan; mana yang benar dan
mana yang salah. SloganSuara Rakyat
adalah Suara Tuhan berangkat dari
sebuah asumsi, bahwa kesepakatan
mayoritas (wakil) rakyat dalam sistem
demokrasi itu pasti mencerminkan
kebaikan dan bakal menghasilkan
penyelesaian yang memuaskan bagi
seluruh rakyat. Logikanya, bila kebanyakan
orang setuju, pastilah persetujuan itu akan
berkait dengan hal-hal yang dipandang
baik oleh kebanyakan orang itu. Bila Tuhan
diyakini sebagai sumber kebaikan, maka
persetujuan kebanyakan orang atas
sesuatu yang dipandang baik itu juga tentu
selaras dengan kehendak Tuhan. Dari
situlah disimpulkan, Suara Rakyat adalah
Suara Tuhan.
Namun, kenyataan yang terjadi tidaklah
demikian. Secara faktual, terbukti tidak
selamanya kesepakatan kebanyakan orang
selalu berkenaan dengan kebaikan atau
menghasilkan kebaikan. Tidak selamanya
sebuah kebaikan dengan mudah
disepakati. Sebagaimana juga tidak
selamanya sebuah keburukan pasti tidak
disepakati.
Kebenaran adalah kebenaran. Ia tidak
ditentukan oleh sedikit atau banyaknya
jumlah orang yang menyepakati. Sesuatu
itu disebut benar bergantung pada dasar
yang digunakan untuk menetapkan sebuah
kebenaran. Di situlah pemikiran
menyeluruh mengenai alam semesta,
manusia dan kehidupan yang dimiliki oleh
seseorang atau sekelompok orang akan
sangat menentukan, karena ia menjadi
dasar berpikir dan landasan untuk menilai
sesuatu itu benar atau salah. Bila
pemikiran mendasar tadi benar, pemikiran
yang bertumpu di atasnya juga akan
menjadi benar, begitu sebaliknya, tak
peduli berapa jumlah orang yang
mendukungnya.
Meski telah disepakati oleh banyak orang,
belum tentu sesuatu itu adalah benar-
benar sebuah kebenaran, karena
kesepakatan banyak orang tidak selalu
identik dengan kebenaran dan pasti akan
menghasilkan kebaikan. Contohnya,
pengesahan pernikahan sejenis (same-sex
marriage) di sejumlah negara Barat, yang
diawali oleh Belanda pada tahun 2001; lalu
Belgia tahun 2003, Spanyol (2005) dan
Kanada, Norwegia serta Swedia pada
tahun 2009; juga Portugal dan Islandia
pada 2010. Meski mendapat tantangan
keras dari warga, tampaknya akan segera
menyusul pula Inggris dan Prancis.
Bila benar Suara Rakyat adalah Suara
Tuhan, kira-kira Tuhan jenis apa, Tuhan
merek apa, yang mau melegalkan
pernikahan sejenis? Bahkan di dunia
hewan yang paling menjijikkan sekalipun,
se-anjing-anjingnya anjing, anjing yang
paling anjing, tak sekalipun dijumpai gejala
lesbianisme dan homoseksualitas.
Dimana-mana, kalau ada ayam jantan
ngejar ayam jantan, pasti mau tarung,
bukan mau kawin. Lah, ini di lingkungan
manusia, jenis makhluk yang katanya
paling berakal, koq disahkan aksi “jeruk
makan jeruk”.
Lalu secara rasional, siapa yang berani
bilang bahwa pernikahan sejenis adalah
sebuah kebaikan? Sekarang saja, angka
pertumbuhan penduduk di negara-negara
Eropa sangatlah rendah karena angka
kelahiran di sana juga sangat rendah.
Angka kelahiran di Prancis 1.8, Inggris
1.6, Yunani 1.3, Jerman 1,3, Italy 1.2, dan
Spanyol 1.1. Rata-rata di seluruh negara
kesatuan Eropa, angka kelahiran
mendekati 1.38. Angka tersebut dipastikan
tak akan mampu menopang kelanjutan
peradaban mereka. Penduduk yang ada
makin tua, sementara generasi baru tidak
banyak lahir. Apalagi bila tendensi
homoseksualitas dan lesbianisme terus
meningkat menyusul pelegalan pernikahan
sejenis di hampir seluruh negara Eropa.
Akibatnya, dalam jangka panjang
diperkirakan peradaban Eropa akan lenyap.
Eropa sendiri tentu tidak akan hilang.
Namun, Eropa masa depan adalah Eropa
yang bakal diisi oleh para imigran atau
komunitas yang menolak keras pernikahan
sejenis dan bersemangat melahirkan
banyak keturunan.
Di Indonesia, contoh ekstrem tadi pasti
ditolak karena katanya tidak mungkin lah
kesepakatan gilaseperti itu bakal terjadi di
negeri yang mayoritas Muslim. Namun,
tidak berarti kesepakatan-kesepakatan
yang dibuat oleh wakil rakyat di negeri ini
pasti lebih baik. Ambillah contoh
kesepakatan yang berkaitan dengan
perbankan. Di negeri ini, sebagaimana di
banyak negara lain, sistem perbankan
dijalankan dengan prinsip ribawi (bunga),
padahal semua agama melarangnya.
Dalam agama Yahudi dan Nasrani,
misalnya, mereka yang membungakan
uang dianggap melakukan penipuan dan
perampokan. First Council of Nicaea (tahun
325) mengeluarkan Canon 17 yang
mengancam akan memecat para pekerja
gereja yang mempraktikkan bunga.
Adapun larangan bagi masyarakat luas
dikeluarkan oleh Council of Vienne (tahun
1311) yang menyatakan barangsiapa
menganggap bunga itu adalah sesuatu
yang tidak berdosa maka ia dinyatakan
keluar atau murtad dari Kristen. Dalam al-
Quran terdapat keterangan sangat jelas
tentang larangan riba dengan ancaman
yang sangat keras. Barang siapa yang
tidak menghentikan memungut riba akan
diperangi oleh Allah dan Rasul, serta
mereka akan kekal di dalam neraka.
Oleh karena itu, bila hingga sekarang
sistem perbankan ribawi ini kokoh berdiri
dengan landasan peraturan perundang-
undangan yang telah disepakati oleh wakil
rakyat, coba tanyakan, suara Tuhan yang
mana yang diikuti? Bahkan filosof seperti
Plato dan Aristoteles yang tidak
mendasarkan pikirannya pada agama juga
mengecam keras bunga bank. Plato
menyebut bunga sebagai penyebab
perpecahan dan perasaan tidak puas
dalam masyarakat. Aristoteles menyatakan
bunga merupakan alat golongan kaya
untuk mengeksploitasi golongan miskin.
Melalui dua contoh sederhana di atas,
jelaslah bahwa slogan Suara Rakyat
adalah Suara Tuhanadalah sebuah ilusi
karena membayangkan bahwa
kesepakatan (wakil) rakyat pasti akan
selaras dengan kebenaran Tuhan adalah
juga sebuah ilusi. Maka dari itu,
mengharap kebaikan dari sebuah sistem
yang ilusif sama ilusinya.
Demikianlah, demokrasi mendasarkan diri
pada prinsip etnosentrisme, paham yang
menganggap manusia sebagai makhluk
terunggul. Padahal kenyataannya manusia
adalah makhluk yang lemah. Lihatlah,
bagaimana peraturan perundangan buatan
manusia yang lahir dari kesepakatan-
kesepakatan demokratis selalu berubah-
ubah. Yang dulu dibenci sekarang disukai.
Yang dulu dilarang sekarang menjadi
boleh. Yang ganjil bisa berubah menjadi
wajar. Yang semestinya dibenci malah
disuka. Yang harusnya disuka malah
dibenci.
Jadi, bagaimana bisa suara dari makhluk
yang lemah itu disamakan dengan suara
Al-Khaliq Yang Mahagagah? Benarlah kata
filsuf Yunani kuno Aristoteles, demokrasi
adalah buah pikir manusia purba. Menurut
Winston Churchill, mantan PM Inggris,
demokrasi merupakan alternatif terburuk
dari bentuk pemerintahan manusia. Nah!