Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Cinta Seorang Janda Muda

22 Desember 2013   12:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:37 251 0
Ia masih ada. Ia masih hidup dalam hatiku. Meskipun hatinya kini mendua. Antara aku dan ibunya.

-------------

Pagi di stasiun dengan jadwal keberangkatan pukul 7. Ah, aku tak pernah mengira akan menjejakkan kakiku di stasiun paling tua di kotaku. Untuk waktu sepagi ini pula. Kalau saja perempuan di sampingku tak mengiba padaku. Aku takkan menyia-nyiakan waktuku untuk waktu yang masih pagi ini. Kereta pun melaju perlahan. Aku tak merasakan bahwa aku dalam perjalanan menuju kota yang tak pernah ingin kujumpai lagi sejak kejadian tragis dua tahun silam.

Dalam perjalanan, perempuan di hadapanku menawariku makanan kecil dan aku pun melahapnya sebagai pengusir rasa bosan yang tiba-tiba saja menyerang. Sungguh jika bisa kupilih, aku ingin naik bus saja daripada kereta api yang sesepi ini. Tapi aku tak dapat memilih lagi. Karena perjalanan ini bukan kehendakku semata.

"Maulida, kau taukah? Aku rindu pada lelakiku. Rindu yang sangat ini begitu bergejolak mesra dan seperti tak tertahankan lagi," Perempuan di hadapanku mengawali percakapan yang sesungguhnya tak ingin kudengar.

"Kenapa tidak kau datangi saja lelakimu, Mbak? Bukankah kalian masih resmi menjadi suami istri?

"Raganya memang masih suamiku. Jika ia datang padaku, ia tak menampakkan bahwa di antara kami ada sebuah masalah besar sedang menghalang. Tapi kau tak tau, bahwa hatinya seolah ia bukanlah suamiku lagi,"

Ingin hati sebenarnya untuk tidak meneruskan percakapan, tapi apalah daya, perempuan di hadapanku kini matanya telah berkaca-kaca, sesenggukan, dan pertahanannya pun runtuh. Ia menangis. Menyesali nasibnya.

"Apa yang dapat kulakukan untukmu, Mbak? Melihat kau sesedih ini aku jadi tak sampai hati," aku mulai gelagapan dengan percakapan yang sudah tercipta ini.

"Dengarkan saja kisahku," ucapnya masih dengan mata sembab.

"Ibunya tidak menyetujui pernikahan kami,"

"Apa alasannya tak setuju? Apa karena usia? Usia Mbak dengan suami Mbak kan hanya terpaut dua tahun saja. Tak menjadi alasan jika Mbak yang lebih tua daripada dia,"

"Bukan itu, Lida. Tapi karena status Mbak yang sudah janda. Ibunya tak setuju, karena ia berpikir bahwa anak laki-lakinya masih bisa mendapatkan seorang gadis bukan janda sepertiku,"

"Apakah menjadi janda itu sangat buruk ya? Sampai-sampai sebegitu hinanya kau di mata ibunya,"

Perempuan di hadapanku menggeleng perlahan dan meneruskan percakapan masih dengan tangisnya yang tersendat.

"Tahun lalu aku mengenalnya. Ketika itu, hatinya begitu mantap untuk mempersuntingku. Padahal sejak awal aku telah mengatakan statusku yang sebenarnya bahwa aku ini janda dan telah memiliki dua orang anak perempuan. Tapi ia tak peduli tentang hal itu. Ia tetap saja datang pada kedua orangtuaku dengan niatnya yang sungguh baik. Ingin mempersuntingku. Ketika itu pula, ibunya tak mengatakan apapun, apakah ia menolak atau tidak,"

"Aku tak benar-benar paham dengan jalan pikiran ibunya. Sedari awal kalau memang tak setuju, ya katakan, jangan diam saja. Kalau sudah seperti ini, siapa yang mau disalahkan?

"Aku juga tidak tau siapa yang harus disalahkan dalam hal ini. Akukah, diakah, atau orangtuanya? Aku tidak tau. Tapi apakah salah ya, seorang janda menikah dengan laki-laki yang usianya dua tahun lebih muda darinya?

"Tidak ada yang salah dalam hal cinta, Mbak. Yang salah itu, jika kalian saling mencintai dan merasa ada kecocokan satu sama lain, tapi tidak memiliki niat untuk menikah dan hanya bisa menjalin cinta tanpa ikatan yang resmi. Jadi selama Mbak tidak melakukan keburukan apapun, ya wajar-wajar sajalah menikah dengan laki-laki manapun juga. Mau usianya lebih tua atau lebih muda dari Mbak juga tak masalah.

"Tapi ibunya mengatakan bahwa pernikahan kami adalah kesalahan besar,"

"Karena status lagi? Tapi kan Mbak masih 28 tahun. Masih belum tua kan?

"Iya, Lida. Apalagi kalau bukan karena status?

"Lantas suami Mbak sekarang bagaimana?

"Itulah yang kusesalkan. Ia tak bisa tegas dengan sebuah pilihan. Apakah ia tetap memilihku dan memperjuangkanku atau menceraikanku dan kembalilah ia pada ibunya," lirihnya dengan kembali berlinangan airmata.

"Seharusnya ia bisa membujuk ibunya bahwa inilah pilihan hidupnya,"

Sesaat kami terdiam. Pikiranku berkecamuk dengan segala hal. Kenapa ya sebegitu sulitnya sebuah pernikahan hanya gara-gara status? Ah iya, hingga aku benar-benar tiba di kota yang tak pernah menjadi tujuanku pun, aku belum sungguh-sungguh paham.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun