Setahun yang lalu ia mengenal pemuda dari pulau seberang. Yang namanya cinta, kita tidak bisa menebak kapan datang dan perginya. Tapi anehnya, ia seolah tidak pernah merasakan cinta sedikitpun ketika mengenal pemuda tersebut.
"Aku tidak mencintai siapapun sekarang. Entah, apa mungkin ini karena rasa kecewa itu tak pernah bisa kuhindari," kata Arshinta pada suatu senja di tepian Senggigi.
"Jika kau tak mencintainya, kenapa engkau mau menerimanya dalam kehidupanmu?
"Inilah kesalahanku, Ran. Seharusnya ia tahu bahwa aku sudah tak mempercayai adanya cinta sejak ia memperlakukanku tak lebih dari sekedar pemuas nafsu,"
"Kau aneh. Kau tahu? Menerimanya sama dengan menyakitinya dan menyakiti perasaanmu juga,"
"Lebih sakit mana, cinta karena nafsu atau aku meninggalkannya?
"Sama-sama menyakitkan. Apakah tak ada pilihan lain?
"Sudah dari beberapa bulan yang lalu kami merencanakan pernikahan, Ran. Tapi apa yang kudapat?
"Apa?
"Kekecewaan,"
Rani mengernyitkan kening tanda tak paham penjelasan Arshinta.
"Maksudmu?
"Kau tahu bukan, bagaimana tak bisa bersatunya istri kakak laki-lakiku satu-satunya dengan ibuku?
"Iya, aku tahu. Sampai saat ini perempuan itu tak bisa menerima keberadaan ibumu di tengah-tengah mereka,"
"Itulah pemicu dari keretakan hubunganku dengan pemuda yang bersamaku kemarin. Bukannya aku tak cinta, tapi aku memang tidak bisa mencintai orang yang tidak bisa menerima dan mencintai kedua orangtuaku, terutama ibuku,"
"Tapi kan tidak seharus seperti itu keputusan yang kau ambil,"
"Aku tahu resikonya dan inilah pilihanku. Aku lebih memilih meninggalkannya daripada harus kutinggalkan ibuku dalam keterasingan yang diciptakan perempuan kakak laki-lakiku. Jika bukan aku, siapa lagi yang akan sangat peduli dengan ibuku? Tidak, Ran. Cukuplah cintaku pada ayah dan ibuku saja. Setelah itu, aku tak tahu siapa. Yang jelas, aku hanya mau menerima lelaki yang mau menerima keberadaan ayah dan ibuku. Itu saja. Tidak lebih,"
***
Sang ibu menangis mendengar keputusan anak perempuan satu-satunya. Ia tak menyangka keberadaannya akan membuat hubungan cinta antara sepasang kekasih yang sebentar lagi akan menikah tiba-tiba kandas hanya karena tak ada penerimaan yang tulus dari laki-laki terhadap dirinya sebagai seorang ibu.
"Kau tak menyesal, sayang? tanya ibu pada Arshinta seraya membelai lembut rambut yang panjang terurai itu.
"Aku lebih menyesal lagi jika harus menyia-nyiakanmu, Bu. Sudahlah, ini memang pilihanku dan aku takkan pernah menyesalinya," jawab Arshinta dengan getir.
"Ibu tidak ingin menjadi penghalang di antara kalian,"
"Yang menjadi penghalang itu karena tak ada penerimaan darinya, Bu,"
"Kenapa tidak kalian lanjutkan saja rencana tersebut? Toh perlahan-lahan nanti ia pasti bisa menerima ayah dan ibumu ini,"
"Tak ada gunanya kata 'perlahan-lahan', Bu. Sebab aku tidak ingin mencoba-coba dalam hal pernikahan. Bagiku pernikahan adalah sakral dan hanya satu kali seumur hidup. Jadi aku sangat berhati-hati jika melangkahkan hati untuk memilih melepas kesendirian ini dengan pemuda yang mengaku mencintaiku,"
"Kembalilah padanya, sayang. Ibu ingin kau bahagia,"
"Aku lebih bahagia jika melihat ibu bahagia. Jadi aku tidak bisa memilihnya karena cintaku padamu, Bu. Cintaku ini tak terwakilkan pada apapun juga. Aku takut jika aku menjadi istrinya kelak, ia akan melarangku untuk bertemu dan bercengkerama seperti biasa denganmu, sebab setelah akad itu tertunaikan, aku memang harus berbakti padanya. Itulah yang tidak kuinginkan, Bu. Aku tidak ingin berbakti pada lelaki yang hatinya sangat jauh darimu. Yang hatinya tak bisa menerimamu. Ah, tidak. Sudah cukuplah. Aku tidak ingin menyakiti diriku sendiri lebih lama dengan tetap bertahan di sisinya,"
Ibu pun memeluk Arshinta. Didekapnya putri kesayangannya itu. Dua perempuan yang larut dalam kesedihan masing-masing. Dua perempuan yang tak terpisahkan sejak kehidupan di alam pertama menyatukan mereka, yakni kehidupan di alam rahim.