Beberapa waktu lalu diberitakan tentang kasus sertifikat ganda yang terjadi di wilayah DKI. Jakarta, dan muara permasaalahan tersebut adalah konflik horisontal antara pemilik tanah pertama sebagai pemilik yang shah dan pihak pengembang atau pembeli ke tiga yang merasa surat tanah yang dimilikinya juga shah (Merdeka.com, 16/07/2013). Sehingga, banyak kasus yang sampai ke tingkat kasasi dan berakhir pada kekalahan salah satu pihak yang bersengketa padahal pemilik tanah pertama tidak pernah merasa menjual tanah yang mereka miliki.
Karena keputusan yang dirasa tidak adil tersebut, mengakibatkan masyarakat sebagai korban tidak menerima keputusan tersebut dan menduduki tanah sengketa dengan membawa bermacam-macam senjata melawan pihak jurusita dari pengadilan dan pihak kepolisian yang biasanya korban yang tidak memiliki kuasa tersebut akan terjerambab dalam kekalahan.
Tidak hanya di wilayah Jakarta, di beberapa daerah juga sering muncul kasus sertifikat ganda yang berakibat beberapa korban jiwa dari kedua belah pihak.
Sebenarnya, jika ditilik dari permasalah sertifikat tanah, tentu saja berasal dari proses sewaktu melakukan pembelian. Karena biasanya, pihak yang melakukan transaksi menghadirkan saksi-saksi. Baik dari masyarakat yang berbatasan tanah, selain itu juga musti diketahui pamong setempat. Dalam prosesnya kedua belah pihak sudah menyiapkan surat perjanjian jual beli tanah dilengkapi batas-batas, materai, kemiudian dibubuhi tanda tangan serta stempel kepala desa / lurah. Bahkan harus dilengkapi dengan kwitansi pembelian yang dilengkapi dengan materai.
Jika tidak berdasarkan pembelian biasanya harus pula menunjukkan bukti berupa surat keterangan hibah maupun wakaf yang diketahui pamong setempat.
Setelah proses tersebut dilewati kemudian pihak pembeli atau pemilik tanah yang baru akan mendapatkan surat keterangan tanah dari desa yang menjelaskan bahwa tanah tersebut sudah berpindah tangan disertai dengan batas-batas wilayah dan tanda tangan dari saksi yang memiliki batas tanah yang bersangkutan.
Jika surat keterangan tanah (SKT) atau disebut juga surat keterangan atas hak kepemilikan tanah sudah diterbitkan, kemudian diterbitkan Akta Tanah yang dikeluarkan oleh PPAT (Pegawai Pembuat Akta Tanah)sebagaimana dijelaskan dalam PP No 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabatan Pembuatan Akta Tanah menyebutkan bahwa di dalam pelaksanaan administrasi pertanahan data pendaftaran tanah yang tercatat di Kantor Pertanahan harus selalu sesuai dengan keadaan atau status sebenarnya mengenai bidang tanah yang bersangkutan, baik yang menyangkut data fisik mengenai bidang tanah tersebut, maupun mengenai hubungan hukum yang menyangkut bidang tanah itu, atau data yuridisnya. Dalam hubungan pencatatan data yuridis ini, khususnya pencatatan perubahan data yuridis yang sudah tercatat sebelumnya, peranan PPAT sangatlah penting. Menurut ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, peralihan dan pembebanan hak atas tanah hanya dapat didaftar apabila dibuktikan dengan akta PPAT.
Oleh karena itu, akta tanah sangat diperlukan sebagai bukti pemilikan tanah dan hak serta kewajiban yang dibebankan kepada pimilik tanah berupa kewajiban pajak atas tanah yang bersangkutan.
Setelah akta tanah diperoleh, kemudian mendaftarkan kembali ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) di wilayah kabupaten / kota sebagai wilayah yang berhak mengeluarkan serivikat. Di mana jenis sertifikat ada beberapa macam seperti sertifikat hak atas tanah, ada Sertifikat Hak Milik (SHM), Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) ataupun Sertifikat Hak atas Satuan Rumah Susun (SHSRS). Hal ini berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No.5/1960 menjamin hal itu bahwa adalah hak dari setiap pemegang hak atas tanah untuk memperoleh sertifikat (UUPA Pasal 4 ayat 1). Dengan memiliki sertifikat tanah tersebut maka pemiliknya dianggap berhak dan sah mengakui bahwa tanah tersebut adalah tanah miliknya.
Untuk mendapatkan sertifikat tanah terlebih dahulu pihak yang mengaku memiliki tanah harus melengkapi syarat-syarat tertentu, yang semestinya dipenuhi oleh orang yang bersangkutan agar proses pembuatan serifikat tidak terkendala karena ada pihak-pihak yang komplain atas tanah yang dimiliki.
Namun, permasalahan di sini adalah kenapa sebidang tanah bisa memiliki dua kepemilikan surat padahal sebidang tanah hanya bisa memiliki satu sertifikat saja yang dikeluarkan oleh BPN?
Sebagaimana paparan di atas, semestinya tidak ada lagi kasus sertifikat ganda seperti yang terjadi di DKI. Jakarta dan daerah lainnya. Karena, proses pembuatan sertifikat melalui proses yang rumit dan sangat ketat jadi sulit sekali terjadinya sertifikat tanah ganda.
Sertifikat tanah ganda terjadi apabila sertifikat tanah yang asli dipinjamkan kepada orang lain atau digadaikan kepada lembaga keuangan tertentu kemudian pihak lembaga (leasing) justru membuat copian (dipalsukan) sehingga terkesan sertifikat tersebut ganda. Akan tetapi jika ditelusuri asli dan tidaknya dapat diketahui berdasarkan bentuk sertifikatnya yang cenderung berbeda dari yang asli serta dari jenis tanda tangan yang dicantumkan merupakan tanda tangan palsu. Meski tidak menutup kemungkinan akta tanah yang dibuat PPAT adalah akta tanah yang palsu sehingga dengan bermodalkan uang yang cukup pihak-pihak yang menginginkan sertifikat bisa dengan mudah mendapatkan sertifikatnya dengan mudah. Bahkan saat ini banyak berkeliaran oknum-oknum pembajak yang sengaja menawarkan jasa pembuatan sertifikat palsu dengan biaya yang bervareasi dan cara penawarannya sekarang sudah merambah dunia internet yang sangat terbuka. Waspadalah!
Sumber:
Undang-undang Pokok Agraria No 5 Tahun 1960
PP no 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
http://landspatial.bappenas.go.id/komponen/peraturan/the_file/UU005_60.pdf