Sedikit banyak saya mempercayai sebuah slogan klasik, bahwa "
tak ada uang maka cita-cita melayang". Seperti halnya tulisan ini lahir dari keprihatinan saya tatkala melihat salah satu kerabat yang kebetulan adalah adik sepupu curhat dan menyampaikan keluhannya lantaran ia gagal masuk ke lomba tingkat nasional program teknisi IT / Komputer. Sebut saja namanya Ajad, ia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Anak yang menikmati usia sekolah tanpa orang tua (ayah) di sisinya karena wafat. Meskipun ia memiliki beberapa orang kakak, tapi karena merekapun memiliki kebutuhan hidup untuk keluarga sendiri maka untuk membantu biaya sekolahnya urung bisa dilakukan. Ajad sebenarnya anak yang memiliki kecerdasan yang baik, bersekolah di SMK Negeri di salah satu kota di Lampung Timur. Meski tak memiliki biaya ia nekad belajar di daerah ini karena awalnya mengikuti saran sang kakak yang katanya ingin menyekolahkan sampai selesai. Namun dengan alasan tertentu ia lebih memilih tinggal di sebuah kost-kostan dengan biaya murah demi menyelesaikan pendidikannya. Pada awalnya ia hampir berputus asa lantaran tak memiliki biaya sekolah, tapi setelah dilakukan wawancara sekolah, ia pun lolos mendapatkan beasiswa anak miskin. Dan sampai selesai ia bebas biaya alias gratis. Sebenarnya menjadi siswa "miskin" bukanlah harapannya, tapi apalah daya, tak ada yang mau dan meminta ia terlahir dengan keluarga yang sederhana. Jangankan untuk pendidikan dengan fasilitas yang cukup, ia bisa sekolah saja sudah lumayan. Anak ini tergolong pendiam tapi melihat prestasinya di sekolah ia pun tak kalah bersaing dengan anak-anak juara di sekolah tersebut. Meskipun predikat juara pertama ternyata bukan murni karena prestasi, tapi ada unsur X yang ternyata masih dimainkan oleh para guru dan ortu demi predikat rangking. Tapi bagaimanapun ia tetap menganggap bahwa temannya memang sudah mujur, bisa mendapatkan ranking di kelas. Sedangkan dirinya harus rela menerima predikat lima besar saja. Awal sekolah ia menumpang di salah satu kakaknya yang kebetulan sudah berkeluarga dan berkecukupan. Tapi saudara kan yang laki-laki, sedangkan yang perempuan hanyalah kakak sepupu. Tak mungkin pula mencintainya secara penuh. Melainkan lebih mencintai anak-anaknya sendiri. Karena melihat usahanya ingin sekolah merelakan dirinya harus ikut kakaknya yang tinggal di Lampung Timur, tapi entah apa pasal, kira-kira kelas 3 ia memutuskan untuk indekost demi konsentrasi dalam belajarnya. Menempati salah satu kamar kost pun dengan ongkos yang teramat murah, ia mau menjalaninya lantaran tak ada lagi sosok yang bisa membiayai sekolahnya dengan fasilitas yang meamdai lantaran sang ayah sudah wafat terkena penyakit cancer yang menggerogoti tubuhnya. Apa yang dia cita-citakan bisa lulus SMA di sekolah negeri ternyata terjawab sudah, ia lulus dengan nilai yang cukup tinggi pada materi komputer 9 (sembilan), meskipun nilai tinggi dalam bidang jurusannya saat itu, ia harus menyerah lantaran matematikanya mendapatkan nilai 5. Nilai kecil yang ketika diakumulasi keseluruhan nilai rata-rata hanyalah 6,9. Sebuah nilai perolehan yang kecil meskipun di beberapa nilai lain sudah sangat besar. Namun persoalannya bukan karena nilai matematika yang kecil, tapi karena kegagalan dirinya hendak mendaftar di perguruan tinggi lantaran ketiadaan biaya. Seandainya orang tua masih genap mungkin impiannya tak kandas begitu saja. Tapi karena sang ibu hanyalah pemilik warung kecil-kecilan sedangkan kakak-kakaknya semua mempunyai tanggungan yang juga tak ringan, maka ia pun merelakan masa depannya kandas karena tak ada biaya sedikitpun untuk melanjutkan pendidikan. Saya merasakan keprihatinan dengan apa yang dialami anak ini, meski saya prihatin dan ingin membantu, tapi apalah daya kami pun masih memiliki beban kehidupan yang tak juga ringan. Karena juga harus menyekolahkan adik sendiri di SMK.
KEMBALI KE ARTIKEL