UU No 4 Tahun 2009 telah memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat atau penduduk setempat untuk melakukan penambangan rakyat, hal itu diatur didalam pasal 22 UU No 4 Tahun 2009 dan untuk papua dengan adanya UU No 21 Tahun 2001, yang turunannya diatur dalam PERDASI 14 Tahun 2008 tentang Pertambangan Rakyat, hal ini merupakan sebuah dasar hukum yang diberikan kepada pemerintah daerah dan rakyatnya untuk dapat melakukan penambangan dan pemda bisa memperolah Pendapatan Asli Daerah. Pengaturannya dibuat melalui sebuah peraturan daerah, dengan dasar hukum diatas maka sesungguhnya pemda mimika dapat saja berkoordinasi dengan PTFI untuk menetapkan WPR di areal KK PT. Freeport Indonesia dan memberikan pembinaan dan pengawasan bagi para pendulang disana.
Belajar dari kasus PT.Timah di Bangka belitung
Dengan WPR ini masyarakat Belitung Timur sudah dapat melakukan penambangan secara legal di wilayah pertambangan yang memang diperuntukkan untuk rakyat. Dan masyarakat tidak perlu lagi main kucing-kucingan dengan aparat hukum,atas penambangan yang mereka lakukan di wilayah yang sudah ditetapkan ini.
Berawal dari Kabupaten Belitung Timur secara bersama dapat melakukan sebuah perubahan yang mendasar terhadap paradigma pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat dengan mengacu kepada UU No.4 Tahun 2009. Undang-undang ini membawa paradigma baru, yaitu masyarakat tetap melakukan penambangan tapi tidak melanggar hukum, Negara tidak harus kehilangan pendapatannya dari kewajiban yang harus dibayar oleh pelaku usaha pertambangan.
Sebagai perusahaan pertambangan PT. Timah pun sudah memainkan perannya dalam menerapkan isi UU No 4 tahun 2009 ini, dengan melibatkan jasa usaha pertambangan yang berasal dari masyarakat,untuk melakukan penambangan di atas WUP milik PT Timah. Kegiatan ini sudah berjalan dengan efektif pada beberapa lokasi di atas WUP milik perusahaan BUMN ini. Pola kemitraan yang telah dilakukan membuat masyarakat tidak merasa kehilangan kedaulatan sumberdaya nya didaerah mereka sendiri.
Ditambah lagi masyarakat dapat melakukan kegiatan pertambangan di WUP milik PT Timah tanpa takut dikejar-kejar aparat hukum, sebab kewajiban yang timbul akibat dari kegiatan pertambangan,seperti jaminan reklamasi dan iuran dari kegiatan pertambangan tersebut akan dilakukan oleh PT Timah selaku pemilik WUP,dan secara hukum PT Timah yang akan bertanggung jawab atas kewajiban yang timbul dari kegiatan penambangan yang telah dilakukan oleh mitra usaha kerjanya itu.
Peranan Pemerintah
Dengan pengalaman diatas maka Pemda Papua, Pemda Mimika serta PTFI Â harus dapat memaksimalkan perannya untuk melakukan sosialisasi Undang-undang Pertambangan, Mineral dan Batu Bara ini. Agar maksud dan tujuan dari Undang-Undang ini dapat dipahami serta dimengerti oleh masyarakat. Bahwa yang mengatur kegiatan usaha pertambangan yang mereka lakukan selama ini adalah undang-undang. Dan setiap pelanggaran dari isi undang-undang adalah perbuatan yang melanggar hukum, sehingga dapat dipidanakan.
Apabila hal ini sudah dapat dipahami dan dimengerti oleh masyarakat dengan benar, maka carut-marut pertambangan rakyat dapat teratasi. Dengan tidak melupakan jika usaha pertambangan rakyat tetap harus berorientasi kepada perekonomian masyarakat setempat, penjagaan keseimbangan lingkungan dan tata ruang wilayah pertambangan, serta yang terpenting secara makro dapat memberikan kontribusi kepada kepentingan pembangunan sosial ekonomi khususnya daerah dan pada gilirannya berpengaruh secara nasional. Pemda Mimika mesti membuat perda tentang pertambangan rakyat, PTFI haruslah melepaskan kawasan yang dikelola bagi masyarakat agar pemda mimika menetapkan itu sebagai wilayah pertambangan rakyat dan diberikan Ijin Pertambangan Rakyat kepada koperasi yang bentuk oleh masyarakat, yang koordinir oleh LEMASA dan LEMASKO, pengamanan dilakukan oleh Satpol PP dan Masyarakat, dan trasportasi ditangani oleh sebuah sub kontraktor yang ditunjuk oleh PTFI dan hasil pendulangannya ditampung oleh koperasi masyarakat atau dapat saja ditampung oleh Koperasi Karyawan Freeport Indonesia (Kokarfi)
Kesimpulan
Dalam UU No 4 Tahun 2009, Pasal 22 huruf f, tidak menerangkan adanya alasan-alasan logis-rasional tentang batas waktu 15 tahun sebagai tenggang waktu yang cukup untuk menentukan suatu WPR. Selain itu, dengan tidak adanya rujukan mengenai kriteria dan mekanisme yang sama bagi setiap pemerintah daerah untuk menentukan bahwa suatu lokasi pertambangan tersebut sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 tahun atau belum, justru menimbulkan ketidakpastian hukum.
Sedangkan terhadap pengujian Pasal 52 ayat (1) UU Minerba, Mahkamah berpandangan bahwa pengaturan tentang Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), Wilayah Pencadangan Negara (WPN), dan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) sudah jelas dan tegas. Di mana urutan prioritasnya adalah dengan memberikan prioritas untuk menetapkan WPR terlebih dahulu, kemudian WPN, dan terakhir WUP.
Peraturan perundang-undangan dibuat pemerintah adalah untuk melindungi dan melayani rakyat, UU OTSUS ada untuk pemerintah provinsi papua dan Pemkab di Papua melayani orang papua bukan investor.
Pertambangan harus menjadi berkat bagi orang papua bukan investor, pertambangan di papua haruslah dikerjakan mayoritas oleh orang papua, agar mereka mandiri sejahtera untuk memasuki peradaban baru. Keputusan MKRI telah jelas memberikan prioritas kepada WPR terkait pasal 52, UU No 4 tahun 2009 dan standar paling lambat 15 tahun telah dikerjakan sebagai penambangan rakyat telah di tolak karena tidak mempunyai alasan yang jelas terkait pasal 22 UU No 4 Tahun 2009.