Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

Bisakah Managerial RT/RW DKI Terutama Daerah Elit DKI Mengikuti Pola Managerial Jokowi-Ahok?

18 November 2012   10:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:07 532 0
Kebrakan-kebrakan pola managerial Jokowi-Ahok yang baru sebulan menjabat Gubernur & Wakil Gubernur DKI yang mengedepan kepentingan rakyat papa, telah menjadi topik yang tidak jemu-jemunya diberitakan media, dan disambut dengan decak kagum dari masyarakat kita. Kita merasa segar dan aktual dengan fenomena baru ini. Lebih-lebih yang selama beberapa dekade ini kita telah merasakan dipimpin secara feodalistik ala kaum priyayi dan militeris, serta korup pula, dimana penguasa selalu berada diatas rakyatnya.

Jokowi yang terjun langsung dan mendekati rakyatnya dengan melihat langsung permasalahannya dengan mata kepala sendiri, kemudian menentukan tindakan apa yang harus dilaksanakan secara tepat sasaran dan prakatis tanpa birokrasi yang berbelit-belit seharusnya menjadi contoh dan panutan bagi jajaran birokrasinya.

Ahok yang menguasai permasalahan birokrasinya yang dengan tegas dapat mengambil keputusan-keputusan yang cepat dan tepat, ini dapat kita lihat dari tayangan yang diunggah di youtube ketika rapat Anggaran dengan Dinas PU dan Dinas Pendidikan serta Sidak di Sekolah Unggulan MH Thamrin, seharusnya semua contoh diatas bisa diikuti polanya oleh managerial RT/RW di DKI, yang selama ini dikatakan merupakan kepanjangan tangan dan garda depan dalam membantu Pemda dalam pengurusan warga lingkungannya.

Rukun Warga dan Rukun Tetangga selama ini diatur dengan mengacu pada Keputusan Gubernur dalam tata tertib cara-cara pemilihan yang dalam beberapa hal masih belum mencerminkan kedemokrasian murni, sedang dalam managerial juga belum ada acuan pokok yang ditetapkan oleh Pemda bagaimana seharusnya dilakukan, karena masih dianggap sebagai kegiatan swadaya. Akibatnya sering terjadi penyalah kegunaan dan ketidak patutan dalam mengolah keuangan warga untuk mengurusan dokumen-doukumen pengatar untuk Izin Domisili, KTP dll ke Kelurahan dengan pungutan liar. Demikian juga pengolahan keuangan yang diperoleh dari tarikan iuran warga. Tidak ada kejelasan berapa sepatutnya besaran iuran yang diperbolehkan untuk ditarik dari warga, sumbangan apa saja yang diperkenankan untuk ditarik dari warga.

Dengan tidak adanya Perda sebagai patokan tentang managerial keuangan ini, akibatnya sering terjadi keributan dan ketidak puasan dari warga. Yang terjadi jika Ketua RT/RW nya seorang yang “kuat” bisa memaksa warganya untuk mematuhi ketentuan yang ditetapkan dilingkungannya, sedang bagi yang “lemah” selalu terjadi defisit. Bagi Ketua RT/RW yang “lemah” akhirnya menjadi segan untuk berpartisiapsi dalam kegiatan ini. Namun ada juga warga yang sudi dengan sukarela melakukannya dengan alasan pribadi yang bersifat sosial, tapi sering juga “jabatan” ini menjadi ajang rebutan bagi warga dilingkungan yang surplus, untung-untung saja jika ketua RT/RW nya dijabat oleh warga yang jujur dan berdekasi baik.

Kembali pada topik dari judul tulisan ini untuk daerah elit di DKI, dimana warganya sebagian besar terdiri dari keluarga yang mampan, besaran iuran yang ditetapkan oleh pengurus RW sering tidak terlalu diributkan, walaupun kadangkala juga terjadi dumelan-dumelan dari ibu-ibu warga.. Karena besaran iuran tidak ada acuannya/rumusan dari Pemda, sehingga yang terjadi sering terjadi surplus berlebihan. Uang surplus bahkan bisa mencapai jutaan dan milyaran rupiah, ini bisa menjadi rawan jika tidak ada pengawasan dan audit dari warganya secara tepat dan terus menerus. Akibatnya bisa saja dana ini digunakan untuk kegiatan pencitraan pribadi ketua RW, dan bahkan menjadi incaran dari oknum-oknum untuk menyasar dana tersebut.

Seharusnya perlu diadakan potokan atau rumusan sebagai acuan berapa besaran iruan bagi warga yang diperbolehkan untuk ditarik dari warga, dan berapa persen dari sisa saldo yang diperkenankan untuk disimpan sebagai ‘sinking fund’ yang dapat digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lingkungan yang mendadak. Tapi tentu saja kebutuhan dan biaya dari setiap lingkungan akan berbeda, berkaitan dengan besarnya area dan jumlah satuan keluarga yang ada di lingkungan, berapa banyak anggota keamanan lingkungannya dan biaya kebutuhan untuk kebersihan lingkungannya. Jadi persentase dari “sinking fund” ini perlu ada patokannya. Dan transperensi dari laporan keuangannya juga harus ada ketentuannya dari Perda, selama ini tidak ada acuannya. Akibatnya setiap lingkungan menentukan sendiri-sendiri tentang hal ini, konskwensinya bagi lingkungan yang kebetulan memiliki warga berkemampuan untuk urusan ini dan kebetulan ada yang mau bekerja sosial untuk warganya akan tidak menjadi permasalahan, tapi bagi lingkungan yang situasinya lain akan menjadi kendala dan sering terjadi penyelewegan-penyelewengan.

Kiranya hal tersebut perlu juga dipikirkan oleh Pemda DKI untuk bisa juga dibenahi setelah permasalah pengentasan warga papa yang menjadi visi ungulan sudah bisa dijalankan. Demikian juga juga bagi RT/RW daerah elit juga perlu membenahi managerial lingkungannya disepandankan dengan visi dan dinamika Jokowi-Ahok yang mengutamakan kenyamanan warganya. Yang terjadi sebuah RW yang telah miliki kas saldo milyaran rupiah, tapi masih saja menarik iuran ketiga belas untuk lebaran, demikian juga pada perayaan 17 Agustusan masih menarik sumbangan khusus. Dan tidak menggunakan saldo kas yang ada untuk pembiayaan ini. Tidak ada kejelasan tujuan untuk apa penumpukan saldo kas yang terus surplus ini. Seharusnya ada ketentuan dari Pemda dimana besaran iuran harus ditentukan dengan besaran kebutuhan dibagi jumlah KK dilingkungannya, dan besaran berapa persentase untuk ‘sinking fund’yang diperkenankan. Semua ini harusnya ada acuannya.

Sangat disayangkan ada RW yang memiliki kas besar, namun minim pembinaan terhadap pemuda warganya, tidak ada penggerakan motivasi potensi-potensi warga yang ada. Gedung Kantor RW tidak coba dimanfaatkan untuk keghiatan pengembangan bakat-bakat muda warga lingkungannya kearah yang lebih maju dan manfaat untuk masa depan warga maupun masyarakat sekelilingnya.

Diatas ini hanya sekedar opini penulis yang pernah tinggal dilingkungan yang termasuk ‘elit’ di DKI, mungkin saja opini penulis bisa kurang benar. Mohon dapat dimaklumi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun