Mohon tunggu...
KOMENTAR
Nature

Sepuluh Tahun di Depan Air Bisa Menjadi Penyebab Perang

8 April 2012   14:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:52 326 0
Menurut Intel AS sepuluh tahun didepan, air bisa menjadi penyebab perang. Air bisa menjadi obyek sasaran terroris. Musim kering yang berkepanjangan, banjir, dan kekurangan air bersih, bisa menyebabkan ketidak stabilan dunia, serta menimbulkan konflik antar negara. Demikian laporan dari Intel AS dalam Hari Air Sedunia ( World Water Day ).

Kajian dari beberapa intelijen federal dari berbagai tempat di AS mengatakan adanya resiko terjadi perang yang disebabkan oleh masalah air tawar, ini bisa terjadi minimal setelah 10 tahun dari sekarang. Ketegangan antara negara bagian dan negara ini dapat mengganggu pasar pangan secara nasional dan internasional.  Setelah 2022, diperkirakan air bisa menjadi senjata perang atau alat terrorisme, terutama di Asia Selatan, Timur Tengah dan Afrika Utara.

Laporan ini didasarkan pada ramalan intelijen AS yang diklasifikasikan tentang keamanan untuk air, yang diminta oleh Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton pada akhir musim gugur yang lalu.

Menurut Hillary, banjir, kelangkaan dan kualitas air, dikombinasi dengan kemiskinan, ketegangan sosial, kepemimpinan yang buruk dan pemerintahan yang lemah akan memberi kontribusi pada ketidak stabilan yang menjadi sebab kegagalan banyak negara. Unsur-unsur ini yang kemungkinan akan meningkatkan resiko kegagalan, ketidak stabilan negara, memperburuk ketegangan regional, dan dapat mengalihkan perhatian negara tersebut untuk bekerjasama dengan AS untuk kebijaksanaan-kebijaksanaan penting. Demikian laporan yang diumumkan dalam Hari Air Sedunia.

Hal tersebut diatas dikemukakan, berhubung ketika AS meluncurkan usulan kemitraan kerjasama Air baru untuk tujuan berbagi keahlian dalam pengelolaan air AS dengan seluruh dunia, mendapati temuan-temuan ‘serius’ ini, ancaman ini kelihatannya nyata dan mengkawatirkan sekali.

Dalam lapora tersebut diungkapkan bahwa memang ada beberapa negara yang telah berusaha untuk menyelesaikan maslah air ini dengan berunding, tapi dengan makin langkanya air situasinya akan berubah. Diperkirakan 10 tahun didepan kelangkaan air yang makin akut. Sehingga air bisa digunakan untuk menjadi senjata menekan dan mengacam bagi negara dan juga oleh teroris.

Diprediksi negara yang berada di hulu sungai akan lebih berkuasa dari negara tetangga yang berada dihilir. Bisa saja negara dihulu membatasi akses terhadap air karena alasan politik, demikian juga negara akan bisa alasan untuk mengatur pasokan untuk internalnya dalam menekan separatis dan rakyat yang membangkang. Pada saat yang sama, teroris dan negara-negara jahat  dapat mengatur aliran air dengan membangun bendungan, waduk dan dam, kemudian mengancam dengan menunda atau membuka aliran air ke hilir. Serangan demikian walaupun pada akhirnya tidak dilakukan, atau sebagian dilakukan, tetap saja akan membuat ketakutan bagi negara hilir untuk terjadinya kebanjiran dan kehilangan sumber daya airnya. Hal ini dapat mendorong negara untuk mengeluarkan biaya besar untuk infrastuktur airnya.

Dalam laporan ini walaupun tidak secara gamblang menyebutkan negara-negara yang ber-resiko tinggi untuk masalah ini. Namun studi ini dilakukan untuk cekungan air dan sungai-sungai seperti sungai Nil di Mesir, Sudan, dan negara-negara disebelah selatan seperti Sungai Tigris, Eupharate di Irak dan timur tengah lainnya. Sungai Mekong di Tiongkok dan Asia Tenggara, Sungai Yordan yang memisahkan Israel dan Palestina, Sungai Indus dan Brahmaputra di India dan Asia Selatan, dan Sungai Amu Darya di Asia Tengah.

Di Indonesia menurut Sinar Harapan ( 22-03-2012 ) 80% Sumber Daya Alam -  Air kita telah dikuasai perusahaan asing. Ini jelas telah melanggar amanat dari konstitusi kita UUD 1945 Pasal 33, bumi, air dan kekayaan alam dikuasai negara dan diberikan untuk kemakmuran rakyat. “ Dikuasai berarti harus dimiliki dan tidak termasuk dalam private capital. Harus masuk state capital” demikian menurut Wakil Ketua DPR – Aria Bima. Karena itu, pemerintah diminta untuk kembali kepada amanat konstitusi itu dengan cara merevisi aturan mengenai privitisasi modal asing di sektor air.

Sekjen Kiara, Riza Damanik menegaskan bahwa air sebagai SDA yang strategis harus dikuasai negara. Untuk itu pelaksanaanya harus diberikan sebesar-besarnya bagi rakyat sesuai dengan UUD 45 Pasal 33.  "Dengan dikuasainya air oleh perusahaan-perusahaan asing dalam pengelolaan sumber daya air ini, pemerintah telah gagal dalam melaksanakan konstitusi. Ini artinya pemerintah telah melanggar konstitusional," ia menegaskan.

Menurutnya, pemerintah tidak menjalankan fungsinya dengan baik dalam melaksanakan amanat konstitusi sehingga tidak memberikan jaminan hak atas air di negeri ini. Tidak hanya di Jawa, hampir di seluruh penjuru negeri praktik ini sudah dilakukan secara berjamaah. "Atas keadaan ini, seharusnya pemerintah sudah harus merevisi dan melakukan perbaikan untuk kembali ke konstitusional kita," katanya.

Bila dilihat 13 tahun belakangan ini, ujar Riza, masyarakat telah dipaksa untuk menikmati air dengan harga yang sangat mahal. Seharusnya rakyat dapat menikmati sumber daya air secara gratis dan itu semua negara yang fasilitasi.

Menurut Ketua Umum Indonesia Water Institute, Firdaus Ali dalam talkshoe dengan Sinar Harapan mengatakan, meski potensi air tawar di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu mencapai 1.957 miliar meter kubik per tahun atau 8.223 meter kubik per kapita per tahun, namun belum semua masyarakat dapat mengakses air bersih.

Saat ini baru 66 persen dari kebutuhan air di Pulau Jawa pada musim kemarau yang mencapai 38,4 miliar per meter kubik yang dapat diberikan. "Bila masalah air ini tidak ditangani dengan serius oleh pemerintah, bukan tidak mungkin di kemudian hari Indonesia akan kesulitan memperoleh air bersih," katanya.

Firdaus mengatakan, kebutuhan air nasional terkonsentrasi di Pulau Jawa sebab 65 persen penduduk Indonesia atau sebanyak 148 juta jiwa bermukim di Pulau Jawa. Untuk wilayah DKI Jakarta, dia memprediksi pada 2025 kebutuhan air warganya akan mencapai 41,6 liter per detik. "Karena tingginya kebutuhan air bersih tersebut, diperkirakan pada 2025 Jakarta akan mengalami defisit 23.720 liter air per detik. Masalah tersebut harus segera mungkin dicarikan solusinya," ujarnya.

Firdaus menambahkan, pemerintah harus segera mencari sumber-sumber air baru di Jakarta. Ini karena, menurutnya, ketersediaan sumber air di Jakarta saat ini hanya mampu memasok 2,2 persen dari kebutuhan air bersih warganya. Padahal bila melihat kota lain di luar negeri, seperi Kuala Lumpur, Malaysia, pemerintahnya telah mampu menyediakan cadangan air baku hampir 99 persen.

Menurutnya, saat ini di Jakarta total beban populasi yang harus terlayani air bersih sebanyak 12,5 juta jiwa dari 9,6 juta jiwa penduduk yang terdaftar. Dari jumlah itu, pihak perusahaan air minum perpipaan baru bisa memasok air bersih untuk 4,2 juta jiwa atau 44 persen warga Jakarta. "Diperkirakan 5,37 juta jiwa warga Jakarta masih menggunakan sumber air tanah dari sumur dangkal dan dalam," ujarnya.

Teks lebih lengkap tentang masalah air di Jakarta dan Indonesia dapat di baca di : http://www.sinarharapan.co.id/content/read/asing-kuasai-80-persen-air/

Sumber :

http://www.msnbc.msn.com/id/46824672/ns/us_newsenvironment/#.T2wwDDEgeUM

http://www.sinarharapan.co.id/content/read/asing-kuasai-80-persen-air/

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun