Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Renungan Setelah Peristiwa Cikeusik

15 Februari 2011   09:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:35 141 1

Peristiwa Cikeusik yang membuat kita miris, mau tidak mau membuat kita merenung kembali arti “Bhineka Tunggal Ika” dari dasar negara kita. Perlu diketahui bahwa bangsa Indonesia, sejak awal mula para founding father kita telah berikrar bertanah air satu, berbahasa satu seperti yang disimbolikan ketika Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, selain itu juga mengakui Bhineka Tunggal Ika. Jadi sejak mula dibangun atas asas pluralisme yang sangat kental, kuat, kokoh. Hanya kelihatannya ‘Pluralisme’ ini masih “belum” banyak diperdebatkan dalam ranah kajian-kajian ilmiah oleh para pakar dan elite agamawan, sehingga kerapkali terjadi peruncingan ketegangan. Perlu diketahui bahwa pluralisme sangat natural dipraktekkan oleh segenap komponen bangsa di tingkat kultural, sejak dahulu kala sebelum negara Kesatuan RI terbentuk. Rakyat di level kultural sangat biasa dan alami membangun basis kehidupan dengan berlandaskan pluralisme.

Bahkan kultur bangsa Indonesia sebenarnya telah terbangun dengan basis agama-agama yang pluralistik. Dan sebelumnya juga telah mesra dengan paham tradisionalistik primitif keagamaan, animisme, dan dinamisme. Kita telah mengenal peradaban yang bersinggungan dengan agama-agama yang dibawa oleh para kaum pedatang dari Asia Barat, Selatan serta Timur. Seperti apa yang dikatakan Nurcholis Madjid dalam bukunya “Cita-cita Politik Islam Era Reformasi” (1999), antara lain mengatakan wawasan kultural bangsa yang bersumberkan agama. Pertama, agama Buddha yang menjadi agama Kerajaan Sriwijaya di Sumatera, dengan kuasa maritimnya telah meninggalkan bekas yang amat penting, yakni proto bahasa Melayu, sehingga menjadi bahasa pergaulan yaitu lingua franca kawasan Asia Tenggara.Kedua, agama Hindu, yang melalui masyarakat telah melandasi suatu pola budaya kosmopolitan. Sifat kemaritiman Majapahit telah menciptakan suatu universum yang jangkauannya kurang lebih sama atau sebanding dengan Indonesia modern kini. Dan, ketiga, agama Islam. Sifat dan budaya Islam yang bersumberkan kosmopolitanisme pola ekonomi dagang ternyata sangat sesuai dengan suasana sosio-kultural Asia Tenggara, khususnya kawasan Melayu. Kesesuaian itu menghasilkan proses Islamisasi dunia Melayu sedemikian cepat, sehingga agama Buddha dan Hindu terdesak. Sejarah bangsa Indonesia dari awal mula telah membuktikan bahwa keragaman agama justru menjadi perekat tali persaudaraan kebangsaan yang sangat kuat. Tetapi, saat ini dapat kita saksikan bahwa agama justru menjadi biang perpecahan yang mengancam integrasi bangsa. Kapan hal itu persisnya mulai terjadi? Kata Fajar Kumianto seorang Alumus UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dalam Harian SH (Mei 2006). Jawabannya adalah saat agama-agama telah kehilangan kreativitasnya. Hal ini terjadi karena agama telah tercabut dari akar-akar pluralistiknya yang natural, ini terjadi bukanlah tidak beralasan. Tapi sebab utama karena agama telah bersinggungan dengan politik atau kekuasaan negara.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun