Dini hari itu, sekitar tahun 2002, gelap masih membalut hutan Gunung Merapi, Jawa Tengah, dimana kami bersama rombongan menyusuri trek kecil jalur utara gunung yang dikabarkan paling aktif di dunia tersebut. Bersama beberapa pendaki lain, saya berusaha keras mengatur nafas dan tenaga agar perjalanan ke Puncak Garuda, yakni sebutan untuk puncak Gunung Merapi, dapat berjalan lancar sehingga kami dapat menikmati siraman mentari pagi di titik tertinggi gunung tersebut tepat waktu. Normalnya, 4 jam harus kami tempuh untuk dapat berpijak di Puncak Merapi dari Base Camp Selo, desa terakhir pada jalur utara, dengan waktu istirahat kurang dari 30 menit.
Pos demi pos kami lalui tanpa hambatan berarti. Semua pendaki nampak antusias untuk segera menapakkan kaki di Puncak Garuda. Tidak terasa, kami telah mendaki lebih dari separuh jalan, sirat keletihan terasa sirna tertutup canda tawa dan obrolan khas pendaki, diiringi suara binatang malam yang tentu sangat jarang kami dengar di kehidupan kota. Air putih pun serasa menjadi minuman paling enak tatkala trek-trek terjal harus kami lalui, sekitar 1 jam sebelum Pasar Bubrah, yakni sebuah spot peristirahatan favorit para pendaki sebelum naik ke puncak.
Hutan eidelweiss yang dibalut dengan vegetasi alami menjadikan trek waktu itu sangat menawan, meski kami melewatinya dalam keadaan cukup gelap. Temaram bulan yang belum sepenuhnya purnama sangat membantu penglihatan kami di tengah redupnya daya baterai dari senter-senter bawaan kami. Jauh di angkasa, beberapa meteor, yang popular dengan sebutan “bintang jatuh” pun menambah keasyikan dan optimisme kami waktu itu untuk segera mencapai puncak.