Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe Artikel Utama

Sudah Menikah, Tapi Masih Subsidi?

22 Juni 2014   03:50 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:51 396 0
[caption id="" align="aligncenter" width="654" caption="Ilustrasi Kompasiana / kompas.com"][/caption]

Pada suatu kesempatan, saya bertemu dengan seorang kenalan. Bicara ngalor-ngidul, jadi nyambung ke anaknya. Ternyata Ibu ini sedang dalam masalah dengan menantu perempuannya. Biasalah, hubungan menantu dan mertua memang sering tidak akur. Tetapi kalau tidak serumah kenapa masih tidak akur juga ya? Persoalannya ternyata Si Anak Lelakinya masih membutuhkan subsidi untuk memenuhi kebutuhan hidup bulannya. Padahal Si Anak Lelaki juga seorang pegawai kantoran. Dalam benak saya, kalau sudah bekerja kenapa masih harus subsidi? Pembicaraan itu akhirnya hanya lebih banyak membuat saya manthuk-manthuk saja. No comment, karena jadi subjektif kalau ditanggapi.

Membina sebuah keluarga memang butuh keberanian dan harus bisa kalkulasi biaya yang dibutuhkan untuk bisa menghidupi anak dan istri. Sebagian orang tua masih suka memasangkan “pakaiannya” kepada anak-anaknya. Pada kalangan orang berada seringkali mereka yang mengeluarkan biaya untuk pernikahan anaknya, rumah disediakan, mobil tinggal pilih, malah ada yang masih diberi uang belanja bulanan. Enak ya? Jawabannya ya relatif. Kalau berpikir dari sisi materi saja, ya enak. Tidak perlu mikir uang datang sendiri, semua kebutuhan tercukupi, apanya tidak enak?

Bagi sebagian yang lain, berani membina keluarga adalah menjadi sebuah keluarga mandiri. Keluar dari rumah dan sanggup membiayai kebutuhannya sendiri, meskipun itu masih pas-pasan. Kebebasan mengatur rumah tangga sendiri adalah bentuk kemandirian dan kebebasan yang jauh lebih besar nilainya daripada materi. Apa enaknya menikah dengan “anak mami”? Dalam banyak hal orang tuanya ikut campur terus. Bak kapal dua nakhoda yang mudah dibelokkan tak sesuai kemauan kita, meskipun kecukupan segalanya. Mungkin memang masih diperlukan bantuan orang tua, tetapi kalau sifatnya sudah subsidi akan ada ketergantungan.

Mengapa harus subsidi?

Ada banyak sebab sebuah keluarga membutuhkan subsidi dari pihak lain, antara lain karena kepala keluarga tidak berpenghasilan, atau penghasilannya tidak cukup. Ada juga karena anak orang kaya, dimana sudah mempunyai kebiasaan keturutan semua kemauannya. Mengandalkan penghasilan saja jadi tak cukup kalau mau ganti mobil, ganti gadget, menyekolahkan anak. Bekerja pada orang tua, kalau kurang tinggal minta tambahan. Memang suka morotin. Bisa juga karena sudah mempunyai mental peminta-minta. Pada pernikahan dini juga berakibat belum siapnya kepala keluarga bekerja, tetapi sudah harus menghidupi anak istri.

Apa enaknya subsidi?

Enak atau tidaknya sebenarnya relatif juga. Tergantung pada si penerima. Yang pasti kebutuhan tercukupi. Segala keinginan yang sifatnya materi bisa dibeli dan dimiliki. Tanpa perlu bekerja berat dan memikirkan kalau kurang. Tidak perlu kepikiran sampai tidak punya uang dan harus berhemat. Toh, kalau habis tinggal minta lagi. Malahan ada yang sampai disodor-sodori sebelum meminta.

Apa tidak enaknya menerima subsidi?

Yang pasti kehilangan kebebasan. Orang lain, meskipun itu orang tua sendiri atau mertua mereka juga ingin tahu subsidi yang diberikan berguna atau tidak. Rasa mau tahu itulah yang akan menguras energi kehidupan berumah tangga. Akan terjadi banyak intervensi yang belum tentu bisa diterima satu sama lain. Bertengkar gara-gara uang jadi kerap terjadi, belum lagi kalau sampai jadi omongan di luaran. Jadi biang sakit hati.

Berani menikah, berani mandiri

Sebenarnya niat luhur untuk membangun sebuah rumah tangga akan diberkahi Tuhan. Ketika sepasang anak manusia berniat menyatukan diri dalam perkawinan suci, ada berkat dari Tuhan yang pasti menyertainya, tidak perlu dihitung-hitung bentuknya seperti apa. Juga bukan untuk dibanding-bandingkan. Selagi mampu menghidupi keluarga kecil, seperti biaya makan, sewa rumah atau apartemen, mampu bayar listrik, air dan telpon, membayar pajak dan ongkos untuk mobilisasi, sebenarnya sudah mampu berdiri tegak sendiri. Selanjutnya nanti bisa diatur sambil jalan. Ya, bersyukur sekali kalau memang di awal hidup berumah tangga sudah serba mapan hasil keringat sendiri.

Hidup bersama, menyatukan dua rasa dan dua selera. Itu tidak mudah. Sebuah niat harus disertai usaha. Mengawali hidup bersama dengan penuh syukur dan mengatur keuangan yang menjadi rezeki dari Tuhan adalah awal yang indah. Jangan selalu berpikir khawatir kekurangan, tetapi bagaimana bisa mencukupkan.

Dampak buruk subsidi

Membantu anak sendiri memang tidak jelek, tetapi apabila hal itu dijadikan andalan akan ada dampak buruknya. Anak kita jadi tidak mandiri. Apa mau punya anak nggandol melulu? Ternyata ada orang tua yang justru suka anaknya tergantung padanya terus. Alasannya dia bisa terus mengawasi dan tidak merasa kehilangan anaknya. Mungkin anaknya suka-suka saja, tetapi menantunya.... Sebel kali ya!

Dengan adanya subsidi yang pasti independensi dan privasi sebuah keluarga jadi hilang. Ada pihak lain yang juga berhak mengawasi, mengatur, turut campur pada setiap kagiatan di rumah tangga. Keadaan inilah yang biasanya menjadi biang keributan antara suami istri. Kerap terjadi saling menyalahkan satu sama lain juga akan selalu mengiringi rumah tangga ini.

Keluarga bersubsidi juga cenderung tidak bisa mengatur keuangan, bahkan cenderung berkekurangan. Ada juga yang sampai berusaha mencari muka pada pemberi subsidi, agar bisa mendapat lebih dari sudah diperolehnya. Kalau sudah begini dampak psikologisnya jadi jelek sekali.

Pemberi subsidi belum tentu bisa diharapkan terus-menerus, bisa juga suatu saat penyandang subsidi mengalami masalah keuangan. Kalau sudah begini, mau mengandalkan siapa lagi. Keadaan ini bisa menyebabkan olengnya rumah tangga, percekcokan, perceraian dan jatuh miskin.

Hal yang juga tidak enak adalah hubungan dengan pemberi subsidi harus selalu dijaga baik. Mau tunduk dan selalu memberi prioritas padanya, akan selalu ada rasa hutang budi kepada pemberi subsidi. Apabila karena sesuatu hal hubungan menjadi buruk, ya jangan sakit hati kalau jadi omongan atau diungkit-ungkit atas subsidinya.

Mendidik anak menjadi mandiri

Tugas orang tua adalah membesarkan anaknya, menyediakan kebutuhan hidupnya dan yang terpenting membekalinya untuk bisa menjadi manusia yang mandiri. Setelah anak besar, sudah saatnya dia menjalani hidupnya sendiri. Sejak anak tersebut mencapai umur dewasa. Memberi kesempatan anak untuk menentukan nasibnya sendiri dan menjalani kehidupan dengan caranya sendiri. Keadaan itu mungkin membuat orang tua merasa tidak tega dengan keadaan anaknya yang dipandangnya begitu menderita. Tetapi itulah cara mendidik anak menjadi mandiri. Biarlah anak bergelut dengan kesusahannya dan biarlah dia menemukan jalan keluarnya meskipun saat itu menurut orang tua tidak tepat. Dia perlu waktu untuk menemukan pengalamannya sendiri. Jatuh bangun diperlukan untuk membentukdirinya kuat dan dapat menemukan cara-cara yang lebih baik bagi hidupnya.

Tak selamanya dia akan begitu, pasti ada perubahan

Tak selamanya orang tua akan sanggup memberi subsidi,

suatu saat juga akan berhenti.

Lebih baik memberi kesempatan mandiri daripada memberi subsidi

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun