Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Lamongan dan Terorisme

21 Oktober 2014   02:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:20 102 0
Saat kami, orang Lamongan, pergi keluar kota dan harus berkenalan dengan orang dari daerah yang berbeda, kami sering dihadapkan dengan dahi-dahi yang mengernyit saat kami menyebut nama Kabupaten Lamongan. Kami mafhum, kota kami memang sudah sangat terkenal sejak 11 tahun lalu, dalam lingkup nasional sampai internasional.

Apa lagi kalau bukan perkara bom Bali I di tahun 2002 yang menyeret pria bernama Amrozi. Sejak saat itu, kabupaten kami yang awalnya hanya sebuah kabupaten dengan luas tak lebih dari 2.000 km2 yang terletak di sepanjang pantai utara Jawa Timur menjadi lebih terkenal daripada ibukota provinsi itu sendiri, Surabaya.

Mengenang Amrozi

Selama beberapa bulan media-media besar kerap menyoroti kota kami, kota yang dibilang sebagai sarang para teroris. Maklum, bukan hanya Amrozi seorang saat itu, dua saudaranya,  Ali Ghufron dan Ali Imron, juga menjadi terdakwa dalam kasus yang sama.

Kalau harus jujur, tidak hanya tragedi bom Bali I saja “ulah” yang mereka – Amrozi dan saudara-saudaranya – lakukan. Pengakuan dalam buku yang ditulis sendiri oleh Amrozi di LP Batu, Nusakambangan tahun 2008 bertajuk Senyum Terakhir Sang Mujahid, membeberkan segala bentuk kegiatan terorisme sejak tahun 1999 yang ia sebut sebagai kegiatan jihad di jalan Tuhan.

Di mulai dari aksi terorisme di Maluku tahun 1999, dilanjutkan di Poso, peledakan gereja-gereja di Mojokerto, Mataram, Batam, Pekanbaru, Jakarta dan kota-kota lain yang dilakukan di tahun 2000. Dari keseluruhanya, Amrozi mengaku berperan menyiapkan bahan-bahan peledak serta senjata api di rumahnya di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan, serta mengantarkannya ke kota tujuan sebagai tugas yang diemban dari sang kakak, Ali Ghufron.

Tak berhenti di sana, tahun 2001, tragedi pengeboman kantor Kedubes Filipina di Indonesia yang berakibat cacat seumur hidupnya Leonides T Caday, Kedubes Filipina saat itu sekaligus target pengeboman. Dan puncak semua aksi terorisme yang Amrozi cs lakukan terjadi pada tragedi bom Bali I tahun 2002 yang menewaskan lebih dari 200 orang dan konon  direncanakan sebagai aksi terorisme terbesar sepanjang sejarah Indonesia.

Pada dua aksi terakhir ini, Amrozi tetap memegang peran yang sama seperti aksi-aksi sebelumnya. Pria yang pernah menikah 3 kali dan dieksekusi mati pada 9 November 2008 ini, dalam bukunya, juga membeberkan masa mudanya yang dikenal nakal hingga pernah menjalani hukuman penjara di Polsek Paciran karena membongkar sebuah makam keramat, serta kejadian-kejadian lain yang ia alami selama berpindah tahanan dari LP Krobokan, Denpasar, Bali ke LP Batu, Nusakambangan, Jawa Tengah.

Kota teroris episode 2

Setelah cukup lama berita tersebut lenyap dari pengamatan media, sebulan lalu, 3 Juni 2013, tragedi terorisme kembali terjadi di Poso, tepatnya di kantor Polres Poso, Sulawesi Tengah. Pukul 08.03 Wita, seorang pria berpakaian hitam dan mengendarai motor bebek masuk ke dalam halaman depan kantor Polres Poso sambil membawa bom rakitan dalam sebuah stoples. Bom yang ia bawa sempat meledak 2 kali. Ledakan pertama cukup kecil, sementara ledakan kedua lebih besar hingga menghancurkan tubuh pelaku. Meski tidak menelan korban jiwa (selain pelakunya sendiri), namun tragedi ini kembali mengangkat kembali Lamongan sebagai trending topic beberapa minggu di banyak media.

Pasalnya, setelah diusut, pelaku bom bunuh diri tersebut adalah pria asal Lamongan bernama Zainul Arifin, warga Kelurahan Blimbing, Kecamatan Paciran.

Pria pekerja keras

Di sebuah rumah kecil di gang Gedong, RT 03/05 Dusun Semagu, pria kelahiran 26 Juni 1979 ini lima bulan lalu masih tinggal dalam sebuah rumah kecil bersama ibu dan 2 orang saudaranya. Tidak banyak yang mengira, Zainul Arifin yang dikenal pendiam dan ramah oleh para tetangga sampai hati menjadi pelaku peledakan bom bunuh diri.

Sebelum meninggalkan rumah, Zainul Arifin berpamitan kepada keluarga dengan alasan kerja menjadi kuli batu di Qatar. Suami dari Fatimah yang sedang hamil tua ini memang terkenal kerja serabutan, tidak segan untuk bekerja apapun. Sebelumnya, ia sempat menjadi kuli angkut ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Brondong, pernah menjadi nelayan, berjualan kopi bubuk, tukang pijat bekam, dan membantu ibunya menjual obat herbal di rumah.

Mungkin karena faktor ekonomi yang apa adanya, ibu Zainul Arifin adalah seorang janda, ditambah faktor pendidikan yang terbatas, membuatnya harus bekerja keras untuk menyambung hidup.

Pendidikan Zainul Arifin hanya sebatas lulusan SMP Negeri di Paciran. Tahun 2004, ia lulus dan memilih tidak melanjutkan sekolah untuk bekerja bersama saudara-saudaranya. Di kalangan para teman, Zainul Arifin dikenal sebagai seorang yang serius dalam bekerja.

Perubahan drastis

Mungkin yang menjadikan Zainul Arifin yang pendiam dan ramah menjadi pemberani sebagai “pengantin” dalam peledakan bom bunuh diri adalah perubahan yang terjadi pada dirinya.

Setahun terakhir, Zainul Arifin menjadi begitu rajin beribadah dan sering meminta keluarganya untuk menyaksikan acara-acara yang berbau islami. Ia juga masuk dalam sebuah jemaah aliran tertentu yang keluarganya sendiri tidak tahu persis aliran seperti apa yang diikutinya.

Pengikut aliran ini terdiri dari sembilan orang, termasuk Zainul Arifin. Kesembilannya dikenal tertutup dan jarang berkomunikasi kecuali dengan kelompok sealirannya sendiri. Paling-paling yang diketahui oleh warga sekitar sebatas kebiasaan mereka yang sering berjamaah solat subuh tanpa menggunakan lampu. Mengapa? Mereka sendiri yang tahu jawabanya.

Sampai saat ini belum ada kepastian bagaimana Zainul Arifin bisa sampai di Poso. Kuat dugaan ia termasuk rekrutan kelompok teroris Santoso, terduga penembakan 3 polisi di BCA Palu pada 25 Mei 2011.

Zainul Arifin alias Arif Petak, memang tidak seberingas Amrozi, dalam riwayat hidup sebelumnya pun ia tidak pernah berurusan dengan tindak kriminal. Namun, apa yang telah ia lakukan telah menambah daftar para teroris asal Lamongan. Bagi kami saat ini, semoga tidak akan ada lagi aksi terorisme Lamongan episode 3, cukup Amrozi cs dan Zainul Arifin saja. Semoga juga Lamongan akan kembali  seperti asalnya, terkenal sebagai Kota Soto bukan Kota Sarang Teroris.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun