Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Ayam (Bagian 2)

24 Januari 2023   11:19 Diperbarui: 24 Januari 2023   11:30 379 3
Ayu berkeliling mencari si Burik. Sudah dua hari ini ayam jantan itu tidak kelihatan."Kurrr ... kurrr ... kurrr ...," panggilnya. Burik tidak juga datang.

"Dena ... Den." Ayu memanggil putrinya.

"Ya, Ma?" sahut gadis kecil berambut sebahu dari pintu depan.

"Ada nampak si Burik?" tanya Ayu.

Dena menggeleng. "Bukannya dia suka nongkrong di teras rumah Rino?"

"Iya. Sudah berapa hari ini Mama lihat nggak ada di situ."

"Mama sudah tanya Papa Rino?"

"Nggak perlu, dari sini juga kelihatan. Lagi pula kayaknya ayam kita semakin sedikit, ya?"

"Kata Rino mereka setiap hari makan ayam, Ma."

Ayu terperanjat. Sudah sebulan semenjak dirinya bertengkar dengan tetangga yang ganteng itu. Ia melirik ke rumah tipe 36 di samping. Rasanya tidak mungkin pria itu mencuri ayam. Namun, tiba-tiba ia teringat dengan ancamannya. Jangan-jangan ....

"Mama mau nanya ke sana sekarang. Ayo," kata Ayu sambil menarik tangan putrinya.

Rino sedang bermain mobilan kayu di teras. Ia gembira saat melihat Dena. "Den, mau bermain denganku?" ajaknya.

"Mau," jawab Dena semangat.

"Rin, Bapakmu ada?" tanya Ayu.

"Ada, Tante. Di belakang sedang memasak ayam goreng," sahut Rino polos.

Ayu terkesiap. 'Itu pasti ayamku!' pikirnya dalam hati.

"Tante boleh masuk?" tanyanya mencoba bersikap sopan.

"Iya, Tante," sahut Rino sambil lalu.

Ayu menghidu wangi ayam goreng. Ia mengikuti aromanya hingga ke dapur. Tetangganya itu sedang berdiri di depan kompor. Tubuhnya yang atletis hanya ditutup singlet dan celana pendek. Entah mengapa, Ayu berdebar-debar melihatnya.

"Apakah itu si Burik?"

Teguh nyaris terlompat karena kaget. "Heh, kamu mau bikin Rino yatim piatu? Jangan pernah mengendap-endap di belakangku. Jantungan, tau!" dengkusnya kesal.

"Saya tanya, itu si Burik yang di kuali?" tanya Ayu tak gentar.

"Emangnya kenapa?" Teguh balas bertanya.

"Ayam kami berkurang lebih dari separoh. Saya nggak masalah, selama bukan saya yang makan. Tapi, si Burik lain. Dia peninggalan Bang Sintong. Saya nggak terima bila dia di sembelih," ujar Ayu tersekat. Tiba-tiba suaranya menjadi parau. Cairan bening menetes di sudut matanya.

Teguh terdiam. "Saya---saya nggak tahu," katanya gugup. Pria itu kuat bila beradu fisik, tapi lemah dengan air mata. "Saya--- akan mencari gantinya ...."

"Jadi benar itu si Burik? Kamu menggorengnya? Kamu biadap, teganya ...." Ayu mengacir lari pulang. Meninggalkan Teguh yang tertampar rasa bersalah.

Esok harinya Teguh membawa seekor ayam jantan yang besar. Warnanya mirip dengan si Burik. Diketuknya pintu rumah tetangganya. Ayu membuka pintu dan menatap cemberut.

"Apakah itu kembaran si Burik?"

Teguh nyaris tertawa. "Maafkan saya. Ini sebagai pengganti," ujarnya khidmat.

Ayu menghela napas panjang. "Tak ada gunanya, saya nggak pintar menjaganya. Dan sialnya lagi, saya nggak sanggup memakan mereka. Maaf, jika selama ini mereka sudah merepotkanmu," ucapnya pelan.

"Kenapa nggak kamu jual saja?" tanya Teguh heran.

"Saya nggak tega juga. Mereka milik Bang Sintong," jawab Ayu.

Teguh menggeleng heran. "Saya minta maaf karena sudah memindahkan mereka sebagian ke kantong tengah kami. Kalau kamu berkeras, saya bersedia membayar yang sudah kami makan."

Ayu menggeleng. "Tidak usah, justru kalian sudah menyelesaikan masalahku. Itu kamu bawa saja pulang. Sebenarnya bulan lalu saya ingin mengatakan ini, tapi malu karena gagal menjaga warisan suamiku."

Teguh tersenyum. "Kalau begitu, ini akan kubawa pulang. Nanti kami antar lagi dalam bentuk ayam goreng." Ia mengedipkan sebelah mata.

Ayu tersenyum simpul. "Ya, silakan," katanya mengangguk pelan.



Kotabaru, 30 November 2022


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun