Aku menoleh gemulai. Dengan tatapan menggoda kuberikan senyuman lebar nan cemerlang seperti pada iklan pasta gigi. Cling!
"Sis, kamu sikat gigi dulu, gih. Ada cabe nyelip di gigimu," tegur Sang Fotografer melotot.
Aku tersipu. "Ah, masa, sih, Mas? Siska cuma makan sedikit sambal terasi tadi," protesku pelan. Aku bergegas ke kamar mandi darurat yang terletak di samping pohon beringin.
"Heh, makan cabe sedikit maupun banyak sama saja. Tuh, cabe tetap nyempil!" tukas Mas Dery.
Aku memonyongkan bibir. "Kalau tahu begitu, aku makan yang banyak saja tadi. Mana dicocol pake pete enak banget." Aku merepet sendiri. Cuaca yang panas membuat tubuhku lelah. Ditambah lagi dengan pengambilan gambar yang berulang-ulang. Aku mengelap keringat yang mengucur deras segede-gede biji jagung.
"Action! Pegang payungnya lalu berputar perlahan." Aku bergerak sesuai instruksi Mas Dery. "Ayo, melirik manja sedikit. Senyum menggoda."
"Sekarang lepaskan sepatu heels. Kamu jinjing di tangan kanan. Ya, begitu. Naik ke atas bukit dengan gaya seksi. Ya, ya, begitu. Berhenti. Pegangan ke kap mobil. Naikkan sebelah kaki ke atas ban."
Aku beraksi sangat sempurna.
Tiba-tiba terdengar suara menderu dari samping. Aku berbalik. Tiba-tiba ....
Byur!
Aku terjaga dengan wajah basah kuyup.
"Bangun, Ijah! Matahari sudah tinggi, elu masih enak-enakan tidur di sini." Terdengar suara cempreng Emak menyelinap ke gendang telingaku.
Aku membelalak. "Idih, Emak. Napa cepat banget nongol, sih? Siska pan lagi pemotretan untuk majalah. Nanti, wajah Siska dipajang di majalah beken. Mak, bakalan bangga deh dengan putri semata wayangnya ini," ucapku merajuk.
"Hadeh, siapa juga yang namanya Siska?" omel Emak sambil mengambil gayung dari lantai.
"Siska itu nama panggung aye, Mak. Kalo artis ntu kagak ada yang pakai nama kampung. Musti nama internasional gitu," tuturku membela diri. Aku duduk dan melipat selimut lalu meletakkannya di atas tempat tidur besi.
"Hadeh, Ijah---Ijah. Heh, nama Lu tuh bukan nama kampung, tau! Emak dan Abah Lu sembilan bulan memikirkannya. Ijah Juleha, keren gitu. Abah sampe potong kambing untuk syukuran nama Lu!" Emak merepet sambil berkacak pinggang.
"Iya, Mak. Kalo di kampung, mah, sudah beken. Tapi di agensi gak boleh, Mak. Harus pakai nama yang canggih. Seperti Cindy, Katrina atau Marimar," ujarku berkelit.
Emak melotot sebal. "Terserah Lu, dah. Buruan bangun! Tuh, si Jabrik, ayam jantan Lu sudah ribut minta makan dari tadi. Jangan lupa bebek-bebek di samping dikasih makan, ya. Masih ada dedak di kaleng Kong Guan. Lu, kasihnya dikit-dikit aje, ye, biar cukup sampe akhir bulan. Mak mau ke warung Mpok Dian."
Aku merengut. Lagi enak-enak jadi foto model malah disuruh mengangon bebek. Kan, nggak lucu!
"Heh, kok malah bengong? Ntar, kesambet loh! Elu tahu, Jah, kemarin kambing si Udin mati karena kesambet. Lu, jangan ikut-ikutan!" Terdengar suara Emak lagi dari pintu kamar. Ternyata Emak masih berdiri sambil melotot.
"Iye, Mak. Ini juga mau bangun," ujarku malas. "Kalo aye jadi model, gak bakalan deh aye bangun pagi-pagi buta begini." Aku ngedumel sambil mengikat rambut.
"Sudah, hidup tuh harus menginjak di tanah. Jangan di awang-awang melulu," sahut Emak dari dapur.
Aku berkerut. Heran, kok si Emak bisa dengar?
Kuseret sendal jepit dari kolong tempat tidur. Lalu kulepaskan sarung bantal yang basah karena siraman air dari gayung Emak. Kubawa sekalian dengan bantal ke teras, mau dijemur biar kering.
"Heh, Ijah, elu baru bangun? Pamali tau, anak gadis bangun kesiangan," tegur Imron dari pangkalan ojek di seberang rumah.
"Kata siape? Gue cuma mau menjemur bantal doang," jawabku sebal.
"Iya, bantal bekas iler, Lu, kan?" sahut Imron lagi. Ia menyeberang menghampiri.
"Elu sok tahu. Gue tadi malam ada kontrak, tau!" bualku kesal.
Aku mengambil jagung dan memberi makan si Jabrik. Kutinggalkan dia mengais-ngais tanah. Kuambil dedak dari kaleng dan mencampurnya di baskom dengan sisa sayur tadi malam. Kumasukkan ke wadah di atas tanah. Lima ekor bebek segera mengerubungi.
"Kontrak apaan, Lu?" Terdengar suara Imron tepat dari belakang.
Aku terkejut. Kakiku terpeleset dari bilah papan. Membuatku hilang keseimbangan dan terjerembab ke lumpur bercampur kotoran bebek.
"Lu, kontrak di mana, Jah?" cecar Imron penasaran.
"Gue dikontrak jadi model mobil," jawabku cemberut. Pipiku yang berlumur lumpur terasa memanas.
"Di mana?" tanya Imron lagi.
"Di dalam mimpi," sergahku kesal. "Puas, Lu?"
Kotabaru, 20 November 2022