Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Kubilang Juga Apa

5 November 2022   09:01 Diperbarui: 5 November 2022   09:08 190 4
"Ayo, Pa. Kita sudah kesiangan," ujarku sambil meraih sandal berwarna emas dari rak sepatu.Mas Pur yang sedang menutup jendela ruang tamu menoleh pada jam di dinding.

"Masih jam setengah dua, Ma. Resepsi di gedung biasanya sampai jam empat sore. Masih lama," sahutnya.

"Iya, tapi Mama sudah janji dengan teman-teman kantor untuk datang barengan. Lagi pula Mama sudah lapar," jawabku lagi.

"Kenapa nggak makan saja dulu? Ntar di jalan macet, loh," ujar suamiku itu.

Aku menggeleng. "Tanggung, ntar kekenyangan. Kan, gedungnya enggak jauh. Cuma beberapa kilometer."

Mas Pur memasang gerendel pada pintu ruang tamu dan mengambil kunci dari gantungan di atas mesin cuci. "Kita pakai motor saja ya, biar lebih cepat?"

Aku menggeleng. "Jangan dong, Pa! Di luar panas banget, ntar bedak Mama bisa luntur! Lagi pula Mama pakai gaun, repot naik di belakang jok motor," ujarku merajuk.

"Ya, sudah. Mama keluar dulu ya, biar Papa mengunci pintu garasi," jawabnya sambil meraih kunci mobil keluarga.

Suamiku memang tidak banyak berbicara, ia tidak suka berdebat. Ia seringkali mengalah padaku yang kadang kolokan. Mungkin karena perbedaan usia kami cukup jauh.

Aku meraih tas mungil yang serasi dengan sandalku lalu masuk ke dalam mobil yang sudah di parkir di depan rumah. Sambil menunggu suamiku mengunci pintu, aku membuka ponsel dan berseluncur di sosial media. Ada sebuah kiriman foto dari temanku, Atika. Ternyata dia sudah sampai di tempat resepsi. Aku lalu membuka status whatsapp milik teman-teman yang lain. Waduh ternyata sudah banyak yang tiba.

"Ma, jemuran masih di luar. Kamu ambil dulu, deh," kata suamiku dari jendela mobil yang terbuka. Pandangannya tertuju pada jemuran lipat yang terbuat dari alumunium di sebelah garasi.

"Biarin saja, Pa. Hari panas terik begini, lagipula kita cuma sebentar," ujarku malas bergerak.

Mas Pur mengangkat bahu dan masuk ke belakang kemudi. Ia menyalakan mobil.
"Nanti kalau tiba-tiba hujan, repot, Ma. Jemurannya banyak, pakaian kerja kita juga ada."

"Enggak akan hujan, Pa. Hari Minggu, kan, banyak pawang hujan yang beraksi," sahutku tak sabar, "ayolah, teman-teman Mama sudah pada sampai. Nggak enak kalau kita belakangan."

Mas Pur menoleh dan menatapku sekilas, lalu mengoper gigi dan menekan pedal gas.
Kami tiba di gedung resepsi satu jam kemudian. Di luar dugaan, jalanan sangat macet karena ada kecelakaan. Jarak yang seharusnya bisa ditempuh lima belas menit itu menjadi lebih lama karena mengendarai mobil. Aku mengomel kesal.

"Sabar, Ma," begitu suamiku menghibur dengan pandangan tetap berkonsentrasi ke jalan raya.

Teman-temanku sebagian sudah pulang, karena ada yang masih harus ke resepsi lain dan ada yang buru-buru pulang untuk menghindari hujan. Entah kenapa, langit menjadi mendung saat kami tiba di gedung. Aku dan Mas Pur langsung menuju ke meja makan prasmanan. Setelah itu, kami menyalami sang pengantin, yang kebetulan adalah anak teman kerjaku.

"Terima kasih, Heni, sudah datang," kata temanku itu ketika berjabat tangan. Aku mengangguk dan tersenyum.

"Selamat ya, Nia, semoga langgeng sampai anak cucu," ujarku pada sang pengantin yang tampak berseri-seri.

Saat kami keluar gedung, hujan turun sangat deras. Bagaikan air tumpah dari langit. Para penerima tamu berlari kelabakan menggeser meja dan kotak amplop.

"Bagaimana ini, Ma? Hujan lebat, mobil kita parkirnya agak jauh pula," keluh Mas Pur menatapku.

"Kita sewa ojek payung saja, Pa," ucapku menunjuk beberapa bocah yang entah muncul dari mana sambil menenteng payung. Mas Pur memanggil anak-anak itu dan meminta sebuah payung yang besar. Suamiku ini memang cepat tanggap, aku sangat menyayanginya.

Setibanya di mobil, Mas Pur memberikan uang lebih kepada anak kecil itu. Ia menyalakan mobil dan kami segera pulang. Perjalanan kali ini lebih lancar, karena polisi sudah datang untuk mengamankan lokasi kecelakaan tadi. Hujan semakin lebat sehingga wiper mobil harus bekerja lebih cepat.

Kami tiba sekitar dua puluh menit kemudian. Mas Pur menghentikan mobil tepat di depan pintu garasi. Ia meraih payung dari kolong kursi dan menyerahkan padaku.

"Tolong buka pintu garasi, Ma, biar mobil langsung dimasukkan," pintanya.

Aku mengangguk, mengambil kunci dari dalam dasbor. Aku mengembangkan payung dan setengah berlari menuju pintu garasi. Sampai di sana aku terhenti. Kulihat jemuran di sebelahnya sudah terbalik, mungkin roboh diterpa angin kencang. Semua pakaian yang sudah kucuci bersih tadi pagi kini kotor berserakan di atas tanah.

Aku menatap dengan penuh penyesalan. 'Andaikan tadi aku memindahkannya ke dalam garasi, tentu tidak akan seperti ini,' sesalku dalam hati. Ingin menangis rasanya melihat semua pekerjaanku menjadi sia-sia.

Terdengar langkah di belakangku. Mas Pur ternyata menyusul, bajunya sedikit basah karena berlari dalam hujan. Ia menepuk pundakku.

"Tuh, kan, kubilang bilang juga apa," ujarnya sambil tersenyum miring.


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun