"Akhirnya kita bisa berduaan," balas Jiliana menjawil hidung mancung suaminya.
"Iya, Sayang. Dari tadi aku sudah tidak sabar ingin pergi, tapi nggak enak meninggalkan tamu-tamu undangan." Joni menatap istrinya mesra lalu menunduk dan menyatukan bibir mereka. Perlahan diturunkannya Jiliana ke atas tempat tidur yang bertabur kelopak bunga mawar.
"Aku bahagia, Bang," desah gadis itu seraya menarik suaminya hingga jatuh menimpa dirinya.
"Aku mencintaimu, Jiliana. Aku sudah lama menantikan momen ini," ucap Joni mendekap pengantinnya. Ia menatap mesra dan membelai pipinya yang halus.
"Ups, aku harus melepaskan sanggul ini, Bang. Jepitannya menusuk kulit kepala," keluh wanita cantik berlesung pipit itu berusaha bangkit.
Joni sigap membantu. "Sini kulepaskan, Sayang." Ia duduk di belakang istrinya dan membantu melepas sanggul. Sesekali ia mengecup leher jenjangnya, aroma ronce melati memenuhi hidungnya.
"Aku mau mandi sebentar, rasanya gerah setelah berpesta seharian," ujar Jiliana berjalan menuju koper yang sudah ditaruh di samping pintu. Ia membukanya dan mengeluarkan pakaian tidur berenda berwarna merah. Joni melotot penuh gairah.
"Jangan lama-lama mandinya, Sayang, aku sudah tidak sabar," bisik Joni. Ia meraih remote dan menyalakan televisi. Dibukanya jas dan sepatu, dipadamkannya sebagian lampu kamar sehingga suasana menjadi temaram. Digesernya tumpukan bantal lalu bersandar di tempat tidur. Bibirnya mengukir senyum lebar saat membayangkan kegiatan yang akan ia lakukan bersama pengantinnya.
Terdengar ketukan dari pintu balkon. Joni mengernyit. Kamarnya berada di lantai tujuh. 'Siapa yang berada di balkon kamarnya tengah malam begini?' Diliriknya jam di pergelangan tangan. Pukul sebelas malam. Dari kamar mandi terdengar suara percikan air.
Ketukan itu terdengar lagi. Joni mendecak kesal lalu berdiri. Dengan tak sabar dibukanya pintu itu hingga terbentang lebar. Sepi, tidak ada orang. Ia melihat ke kanan dan ke kiri, kosong. 'Siapa yang mengetuk tadi?' pikirnya heran. Ia masuk kembali dan mengunci pintu.
Angin dingin menerpa wajahnya, bau melati kembali menyeruak hebat memenuhi ruangan. Gorden-gorden tebal bergoyang-goyang seolah diterpa angin kencang. Joni bergidik. Lampu kamar tiba-tiba padam. Kesunyian mencekam menusuk ke sumsum tulang. Ia berbalik, berjalan meraba-raba dan membuka pintu balkon. Cahaya pucat bulan purnama seketika menyusup menghalau kegelapan kamar.
"Joni ... aku datang menjemputmu ...."
Pria itu membeku. Tubuhnya menegang mendengar suara lembut Susan menyapu telinganya. Suhu di ruangan itu terasa begitu dingin, tetapi keringat mengucur di dahinya. Matanya belingsatan mencari dalam keremangan. "Siapa itu?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Aku ... Susan, kekasihmu."
Suara halus bagai embusan napas itu membuat Joni terperanjat. Bulu kuduknya seketika meremang. "Bagaimana mungkin. Susan sudah mati! Aku melihatnya sendiri!" desisnya ketakutan.
Tak ada sahutan. Joni berlari menuju tempat tidur. Ia hendak menelepon pihak hotel atas gangguan ini. Diraihnya gagang telepon dan mendekatkan ke telinga. Namun, tidak terdengar nada sambung. Ia teringat dengan Jiliana di kamar mandi, bergegas diketuknya pintu kamar mandi. Tidak ada sahutan, diraihnya gagang pintu, ternyata terkunci dari dalam. Digedor-gedornya pintu itu, tetap tidak ada sahutan dari dalam kamar mandi.