Pria itu melepaskan lapisan terluar dari jubahnya dan menyelimuti punggungku. "Kau kedinginan. Pakailah," ujarnya dengan suara rendah bergemuruh.
Tanpa banyak komentar, kumasukkan kedua tanganku ke dalam jubah dan mengikatnya di pinggang. Kugulung beberapa kali agar tak terinjak saat melangkah.
"Ayo, cepat! Kita harus segera pergi. Perjalanan masih jauh," desak makhluk itu mendorongku. Diangkatnya tubuhku ke atas kuda, lalu ia menyusul duduk di belakangku.
Kami berkuda dalam diam. Aku tak tahu sudah berapa lama kami berjalan. Aku tertidur beberapa kali karena kelelahan. Tiba-tiba kuda melambat dan berhenti. Makhluk di belakangku meluruskan tubuh dan melompat turun. Ia menjulurkan tangan untuk membantuku turun.
"Kita istirahat sebentar," ujarnya mengikat kudanya ke sebatang pohon besar.
Aku melayangkan pandangan. Cahaya temaram yang tak tahu berasal dari mana menerangi tempat kami berhenti. Daerah ini seperti sebuah oasis dibandingkan padang pasir yang telah kami tinggalkan.
"Di mana kita sekarang?" tanyaku parau. Tenggorokanku terasa kering, seolah sudah berhari-hari tidak dilewati air.
Makhluk itu tidak segera menjawab. Ia mengeluarkan sebuah waterskin dari pelana kuda lalu minum. Aku memandangnya terbelalak, air tidak tampak membasahi jubahnya. Bagaimana tubuh berupa tengkorak itu bisa minum?
Setelah puas minum, ia memberikannya padaku. "Minumlah, kau pasti haus," ucapnya seraya duduk di atas rerumputan.
Aku hendak menggeleng menolak, tapi takut melukai perasaannya. Kuraih waterskin itu dan minum. Airnya terasa sejuk dan enak. Aku meminumnya dengan rakus.
"Siapa namamu?"
"Zoya Geraldine. Kau?" Aku balas bertanya.
"Sekarang aku disebut Finn The Reaper," ujarnya datar.
Aku mengernyit. "Aku pernah mendengar tentang Grim Reaper. Malaikat pencabut nyawa."
"Sebenarnya aku bukan malaikat. Aku hanya pengumpul jiwa-jiwa yang telah mati dan membawanya ke pintu penghakiman."
Aku terkesiap. "Apakah itu artinya aku sudah mati?" Aku menangkup wajah dan melihat kakiku. Semua masih utuh.
"Jiwamu tersesat di padang gurun pengayak. Seharusnya kau bisa segera kembali ke dunia setelah aku melepaskan kakimu." Finn menggeleng. "Namun, kau melihat wajahku. Tidak ada yang bisa hidup setelah melihatku."
Bibirku bergetar, aku mulai menangis dalam diam. Air mataku meleleh membayangkan wajah mama dan papa, mereka pasti sedih sekali menghadapi kematianku.
Finn berdeham. "Tak ada gunanya menangis," ujarnya datar, "berapa usiamu sekarang?"