Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Mencuri Mangga

26 Oktober 2022   08:50 Diperbarui: 26 Oktober 2022   09:13 2394 2
"Tembak yang itu, Bang!" seru Alif menunjuk segerombolan mangga yang ranum. Warnanya kuning menggoda.

Anto berjongkok mengawasi dengan wajah cemberut. Ia semula tidak setuju untuk mencuri mangga di kebun Pak Karno. Lebih baik meminta ibu membelinya di pasar.

"Kata Bu Guru, mencuri itu dosa, Jon," tolaknya tadi siang ketika mereka berjalan kaki sepulang dari sekolah. Mereka berhenti di pinggir jalan dekat kebun Pak Karno. Saat itu timbul ide Joni ketika melihat buah-buah ranum itu bergantungan di atas pohon.

Joni mendengkus. "Kita bukan mencuri, To, tapi cuma mengambil sedikit. Lagian kebun Pak Karno luas. Nggak akan ketahuan. Percaya sama aku!" tegas sahabatnya.

"Mendingan kita minta saja. Mungkin Pak Karno mau mengasih," kelit Anto lagi.

"Emangnya kamu berani, To? Pak Karno itu sangar, aku pernah melihatnya waktu naik becak dengan ibu. Dia punya anjing besar."

Anto bergidik. "Nanti kalo kita dikejar anjing, gimana? Aku takut digigit," katanya lagi.

"Tenang, To. Anjingnya diikat, kok. Nggak akan bisa mengejar," sahut Joni yakin, "Kebunnya juga di belakang. Kita nggak mungkin ketahuan."

"Bagaimana kita mengambilnya? Aku nggak bisa memanjat pohon setinggi itu," ujar Anto lagi.

Joni menyeringai. "Aku punya ketapel. Nanti sampai di rumah kuambil," ujarnya penuh semangat. "Ayo, kita cepat pulang!"

Tak lama setelah makan siang, Joni datang menjemput dengan membawa ketapel di tangan. Adiknya mengekor di belakang membawa plastik berisi batu kerikil. "Ayo, To!" teriaknya dari halaman, "Alif ikut. Kasihan, nggak ada orang di rumah. Ibuku pergi ke rumah sakit menjenguk Bude Eni."

 Anto mengangguk, bergegas keluar dan mengambil sandal lalu bergabung dengan sahabatnya. Mereka bertiga berjalan kaki menuju kebun mangga Pak Karno, tempatnya tidak begitu jauh. Alif yang masih berusia enam tahun berlari-lari kecil mengimbangi langkah abangnya.

"Ah, meleset!" seru Alif kecewa, menyadarkan Anto dari lamunannya.

"Coba, gantian. Sini, biar aku yang nembak," ujar Anto berdiri.

Joni menggeleng. "Tunggu, To. Baru tiga kali nggak kena. Yang ini pasti kena." Sahabatnya mulai berkonsentrasi membidik setangkai besar buah mangga yang menguning.

Anto turut menahan napas. Ia bersiap-siap untuk lari mengutip buah-buah itu bila jatuh. Diambilnya kantong plastik yang tadi disodorkan Alif.

Joni melontarkan peluru batu dari ketapelnya. Batu itu melesat menerpa tangkai buah, membuatnya putus dan buah berhamburan ke atas tanah.

"Aduh!" Terdengar suara kesakitan dari balik pohon.

Joni terkejut. "Ada orang!" serunya. "Lari! Ayo, lari!" teriaknya sambil berlari sekuat tenaga.

Anto dan Alif segera menyusulnya lari tunggang langgang.

Setelah merasa cukup aman, Joni berhenti dan mengatur napas. Ia menoleh ke belakang. Anto menghampiri tersengal-sengal. "Hampir saja ketahuan," ujarnya seraya menurunkan tubuh ke atas rumput.

"Mana Alif?" tanya Joni cemas.

Anto melihat ke belakang. "Loh, tadi ikut lari denganku," ujarnya mengernyit. "Kok, gak ada. Jangan-jangan ...?"

"Aduh, To. Bagaimana ini? Kalau Alif ditangkap Pak Karno lalu dimasukkan penjara, bagaimana? Aku bisa dimarahi ibu sama bapak." Joni menatap ke arah kebun ketakutan.

"Ayo, kita bantu dia, To," bujuknya galau.

"Bagaimana caranya? Kalau dia sudah ditangkap, kita nggak bisa melawan Pak Karno," jawab Anto ikut bingung. "Lagian, kamu ngapain ngajak adikmu, sih? Kan, jadi susah!"

"Aku gak berani meninggalkannya di rumah. Kata ibu, sekarang musim culik anak. Aku takut Alif diculik lalu dimasukkan ke karung dan dijual ke kota," ujar Joni sedih. Ia terduduk di tanah di sebelah sahabatnya. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

"Kita lapor ke ibumu saja, biar dia jemput Alif ke penjara," usul Anto.

Joni menggeleng. "Mendingan aku yang dipenjara, To. Kasihan Alif masih kecil. Aku sudah kelas lima, aku bisa lari kencang."

Anto menatap sahabatnya. "Nanti, gimana kalau ditanya ibu guru? Aku malu bilang kamu dipenjara."

"Nanti biar ibuku yang bilang ke bu guru," jawab Joni, "sekarang temani aku ketemu Pak Karno, To. Biar aku tukaran. Nanti, kamu antar adikku ke rumah, ya?"

Anto mengangguk lesu dan berdiri mengiringi langkah sahabatnya. Ia merasa takut.

"Ayo, cepat, To. Nanti keburu Alif dibawa ke kantor polisi," ujar Joni mulai berlari. Anto mengikutinya berlari kencang.

"Pak Karno, tunggu, Pak!" seru Joni pada pria besar yang tampak berjalan membopong Alif.

Pria itu berbalik. Wajahnya kasar dengan kumis tebal. Ia menatap Joni dan Anto bergantian.

"Pak, maafkan kami. Saya yang salah, mengajak adik saya mencuri mangga," ujar Joni terbata-bata, "tolong lepaskan adik saya, Pak. Tangkap saya saja, dia nggak tahu apa-apa, Pak."

"Jadi, kamu biang keroknya, ya?" tanya Pak Karno dengan suara berat. Kumisnya bergerak-gerak saat ia berbicara.

"Kamu tahu mencuri itu perbuatan dosa?" tanyanya melotot pada Joni dan Anto.

Kedua bocah itu tertunduk takut.

"Kalian lebih baik meminta, jadi tidak akan ada yang terluka," tukas pria besar itu.

"Maaf, Pak," ucap Joni lemah.

Pria itu menggeram. "Jadi, kalian mau apa sekarang?"

"Jangan penjarakan Alif, Pak. Dia masih kecil, nanti saya dimarahi ibu," tutur Joni, tenggorokannya mulai tersekat. "Bawa saya saja, Pak. Saya yang salah." Air mata menetes di pipinya yang tirus.

Pak Karno tertegun. Tiba-tiba ia tertawa. "Kamu pikir anak ini akan dipenjara? Oalah, Le, mana ada maling mangga masuk penjara!"

"Jadi, kenapa adik saya ditangkap?" tanya Joni tak terima.

"Kakinya keseleo, nyangkut di akar pohon. Dia kesakitan, makanya saya gendong biar diobati di rumah." Pak Karno masih tersenyum, ia merasa kagum dengan sikap ksatria anak nakal di depannya.

"Benaran nggak dipenjara, Pak?" tanya Joni lagi mengusap pipinya.

Pak Karno menggeleng tegas. "Malah habis diobati, Alif mau saya antar pulang pakai mobil. Kakinya perlu istirahat."

Mata Anto membulat. "Diantar pakai mobil? Saya boleh ikut, Pak?" Di kampung ini masih segelintir orang yang memiliki mobil.

"Boleh saja. Ayo," sahut pria besar itu mulai berjalan.

Joni mengikuti dengan ragu. "Pak, saya boleh ikut? Saya minta maaf. Saya janji tidak akan mencuri mangga lagi," ujarnya pelan.

Pria besar itu menoleh. "Tentu saja. Kebetulan di rumah saya masih banyak mangga matang, nanti bisa kalian bawa pulang sebagian," ujarnya mengedipkan mata kanan.

Anto tertawa lega. "Katamu, Pak Karno sangar, Jon. Ternyata hatinya baik," bisiknya menyikut sahabatnya.

"Sstt, jangan keras-keras," balas Joni menendang kaki sobatnya.


Kotabaru, 21 September 2022

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun