Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Menjaga Adik

24 Oktober 2022   11:46 Diperbarui: 31 Oktober 2022   09:16 623 2
"Ali, panggil adikmu ini. Jangan dekat-dekat mesin," kata ibu dari kamar jahit.Ali merengut. Ia harus menjaga Tifa, adiknya yang berumur tiga tahun. Ibu sedang bekerja menjahit pakaian. Pelanggannya banyak, kadang ibu harus tidur sampai larut malam. Bapak bekerja di pabrik tahu di kampung sebelah.

"Iya, Bu," jawab Ali enggan. Ia mengantongi ponsel dan berjalan menuju kamar. Tifa sedang duduk di lantai menggenggam kapur jahit ibu. Lantai kotor dengan coretan warna biru.

"Ayo, Dek, kita main di luar," ajak Ali sambil meraih tangan montok adiknya. Tifa segera berdiri dan mengikuti abangnya. Mereka berjalan menuju pintu depan.

"Jangan main jauh-jauh, Ali," kata ibu mengingatkan.

"Cuma di teras, Bu," sahut Ali. Diberikannya boneka kain untuk Tifa. Lalu ia mengeluarkan ponsel dan melanjutkan permainan balapan mobil yang tadi terhenti.

Saat sedang asyik bermain, tiba-tiba Kardi datang. Ia teman sekolah Ali di kelas empat SD. Rumahnya tak jauh dari rumah Ali. Ia membawa layangan dan benang.

"Ali, ayo, main layangan. Angin kencang, nih," ajak Kardi menghampirinya.

"Aku disuruh ibu menjaga Tifa, Kar," keluh Ali sambil mematikan ponsel.

"Kita bawa saja adikmu ke lapangan. Kan, dekat," bujuk Kardi lagi.

Ali terdiam. Tifa sudah cukup besar, kadang adiknya itu dibiarkan ibu berjalan sendiri saat ke pasar. Ia mengangguk. "Baiklah. Tunggu sebentar, aku mengambil layanganku." Ia berdiri dan bergegas ke kamar, lalu kembali lagi dengan layangan dan benang di tangan.

"Kamu nggak minta izin dulu ke ibumu?" tanya Kardi. Ia memandang Ali yang sedang memasangkan sandal ke kaki adiknya.

"Nggak usah, nanti malah nggak dibolehin. Kita, kan, cuma sebentar," kata Ali sambil menggenggam tangan adiknya. Layangannya sudah disampirkan ke punggung.

"Baiklah," kata Kardi mengangkat bahu. Mereka berjalan beriringan menuju tanah kosong dekat balai desa. Letaknya tidak jauh dari rumah Ali dan Kardi.

Tiba di sana, sudah banyak anak-anak. Ada yang bermain layangan, ada yang berlari-lari dan ada juga yang bermain bola kaki. Ali berjalan ke pinggir lapangan. Diberikannya boneka mainan Tifa lalu mulai menganjung layangan. Kardi ikut menaikkan layangannya.

Semakin sore, tanah lapang itu kian ramai. Layang-layang Ali dan Kardi terbang tinggi di angkasa. Beberapa anak lain datang mendekati mereka dan menonton.

"Ali, kita adu layangan, yuk!" ajak Diki yang badannya lebih besar dari Ali. Mereka satu sekolah, tetapi Diki sudah kelas enam.

"Nggak usah, lah, Bang," jawab Ali, "kami sudah mau pulang."

"Sebentar saja," kata Diki lagi.

Ali menatap Kardi sekilas. Temannya itu mengangkat bahu. "Sebentar saja nggak apa-apa, Li."

"Tapi aku harus pulang. Sekarang sudah sore, nanti dicariin ibu," tolak Ali lagi.

"Halah, bilang saja kamu takut!" ejek Diki sambil menarik ulur benang. Ia mengarahkan layangannya mendekati milik Ali.

"Siapa bilang aku takut? Layanganku pakai benang kaca. Mana mungkin kalah!" balas Ali kesal.

"Coba buktikan!" tantang Diki licik. Ia menyambar layangan Ali dan menarik ulur benang. Kedua layangan itu berlaga di udara. Setelah beberapa saat, tiba-tiba layangan Ali putus dan melayang terbawa angin.

"Yah---putus, Kar!" seru Ali kecewa.

"Kejar, Li! Itu ke arah pohon rambutan!" teriak Kardi menurunkan layangannya.

Ali segera berlari menyeberang jalan mengejar layangannya. Di belakangnya Kardi ikut berlari kencang. Beberapa anak lain pun ikut mengejar.

Layangan itu sangkut di dahan yang rendah. Ali melompat untuk mengambilnya.

"Dapat, Li?" tanya Kardi terengah-engah.

"Iya, Kar. Cuma sobek sedikit, nanti aku bisa meminta ibu menempelnya." Ali tiba-tiba teringat dengan adiknya. "Kar, Tifa sendirian di lapangan! Aduh, bagaimana ini?"

"Ayo, kita lihat," ajak Kardi.

Lapangan itu sudah mulai sepi, tetapi Tifa tidak tampak. Ali dan Kardi membawa layangannya lalu berkeliling mencari Tifa.

"Tidak kelihatan adikmu, Li," kata Kardi lelah. "Sudah maghrib, aku mau pulang."

Ali mengangguk pasrah. Ia berjalan lunglai menuju rumah, takut dimarahi ibu.

Saat tiba di rumah, ibu sedang menyiram kembang.

"Bu---maafkan, Ali ...," kata Ali seraya berlari memeluk ibu. Air mata berlinang di pipinya.

"Ada apa, Ali?" tanya ibu merangkulnya penuh kasih sayang.

"Maafkan Ali, Bu. Tifa ... hilang. Tadi layangan Ali putus, lalu Ali pergi mengejar. Ali lupa menjaga adik," tutur Ali terbata-bata.

"Hmm, makanya lain kali, Ali harus tanggung jawab. Adik nggak boleh ditinggal-tinggal," ujar ibu sabar.

"Ibu nggak marah?" tanya Ali takjub.

"Sekali ini enggak. Karena Tifa tadi sudah pulang sendiri. Sekarang sedang menonton film kartun kesayangannya."

Ali terbelalak lalu tertawa lega. "Ali menyesal, Bu. Ali berjanji tidak akan mengulangi lagi."

Ibu mengangguk dan tersenyum melihatnya.

=Tamat=

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun