Cerita sebelumnya: http://fiksi.kompasiana.com/novel/2012/06/01/spammer-bab-1-467586.html
Cerita ini bisa juga dilihat di blog saya: http://cerbung.com/category/spammer/
======================
Karpet merah, gerbang membuka, dan hawa sejuk nan wangi bersemilir. Beberapa pasang mata gadis kemayu berpakaian gelap dan berwajah mengkilap tersenyum kepadanya. Perempuan setengah baya itu mengangguk saat melangkahkan sepatunya memasuki pusat perbelanjaan mewah itu. Ia tahu, para penyambutnya pasti paham harga busana yang ia kenakan serta tas tangan yang meliuk di lengannya. Dan itu saja sudah cukup untuk memperkenalkan siapa dirinya.
Perempuan tajir itu membetulkan letak kaca matanya yang berwarna coklat kopi lalu mengedarkan pandangan layaknya seorang ratu memeriksa istana. Seorang gadis bertubuh semampai—yang pasti bukan babu istana tapi di mata perempuan itu semua orang terlihat seperti babu—tersenyum dan menyodorkan potongan kertas saat sang ratu melewatinya. Kertas itu meruarkan aroma yang diciptakan dewa-dewa uang Eropa. Si perempuan gaek berbaju warna coklat madu itu mengambilnya, menghirup, tersenyum, menggeleng, dan akhirnya berlalu.
Beberapa langkah setelah meninggalkan konter kosmetik, ponselnya bernyanyi. Ia berhenti dan tersenyum setelah mengetahui siapa yang menelepon.
“Ya, Pi?” katanya. “Ya, nanti begitu selesai Mami ke sana. Apa? Ah, ngga lama kok, paling lama dua jam. Oke, see you, Darling.” Ia menutup ponselnya.
Setelah melewati etalase yang berisi beranekaragam tas, serta menahan hasrat untuk menyambar sebuah, perempuan itu berbelok ke kiri dan berjalan menuju sebuah pintu keluar lalu melangkah mendatangi sebuah toko yang tak mungkin ia kunjungi jika sedang waras.
Dekat pintu masuk perempuan itu berhenti lalu mengamati. Tak tampak pakaian, kosmetik, perhiasan, atau barang dagangan apa pun di sana. Hanya ada konter di bagian yang menghadap ke pintu masuk dan papan elektronik besar yang menampilkan berbagai angka dan simbol mata uang asing.
Di konter tersebut ada tiga orang pegawai: dua orang wanita dan seorang pria. Di sisi kiri ruangan tampak sepuluh kursi yang disepuh logam mengkilap. Enam orang duduk di sana, semuanya pria.
Perempuan itu melangkah masuk lalu mengangguk kepada pegawai wanita yang ada di sisi kanan konter. Melihat perempuan itu masuk, si pegawai balas mengangguk dan melemparkan senyum komersil.
“Selamat siang, Bu Rianti. Cantik sekali hari ini. Ada yang bisa dibantu?”
Rianti mengangguk sebagai tanda persetujuan bahwa pengamatan serta selera gadis konter itu cukup terdidik. Ia lalu membuka tas dan mengeluarkan sebuah amplop berwarna coklat.
“Dik, bisa proses ini seperti biasa?” katanya sambil menyerahkan amplop itu.
Si gadis konter menyambutnya, mengintip isinya, lalu tersenyum penuh arti.
“Ibu mau dicairkan dalam Dolar atau Rupiah?”
“Dolar saja seperti biasa. Lama?”
“Ngga, Bu. Sejam paling lama.”
Rianti mengangguk lalu membetulkan posisi tasnya. “Oke, saya tinggal dulu kalau begitu.”
“Baik, Bu. Terima kasih.”
Perempuan tajir itu berbalik lalu berjalan keluar diiringi suara tok-tok-tok sepatunya yang berhak tinggi.
Saat Rianti baru keluar, seorang pria yang sedari tadi duduk di kursi dekat konter sambil membaca koran, tiba-tiba merasa perlu menurunkan korannya dan memperhatikan Rianti. Saat bokong tante tajir itu menghilang di balik pintu, si lelaki mendekatkan bibirnya ke bahu kanan lalu mulai berbisik.
--Bersambung