Pintu kayu berwarna coklat muda itu merupakan gerbang pertahanan terakhirnya. Jika gerbang itu bergerak membuka, itu berarti dia harus menghadapi langsung si marabahaya.
Aven belum sempat berkata sepatah pun ketika dari pintu itu muncul lima orang. Untungnya ia sempat menjauhkan tangan kanannya—yang sedikit bergetar—dari meja agar terhindar dari tatapan sinar-x para tamu itu.
Rombongan itu seragam memakai rompi berwarna krem dan itu membuat Aven merasa sulit bernapas. Meski tak punya fobia warna, Aven merasa debaran di dadanya mengila. Ia seolah sedang dibawa berputar oleh rolercoster sehingga tangan kanannya bergetar lebih dahsyat, untungnya secara refleks ia berhasil memegang vibrator-daging itu dengan tangan kirinya.
Seorang pria—yang tampaknya pimpinan rombongan itu—melangkah mantap menghampiri meja Aven. Pria itu bertubuh tegap dan rambutnya yang sedikit memutih dipotong pendek rapi. Ia menyodorkan senyum yang sangat ramah namun matanya yang sipit memancarkan hawa malam berangin di gurun Gobi.
“Selamat pagi, Pak Aven,“ kata lelaki itu sambil membetulkan lipatan amplop putih yang ada di tangannya. “Saya Priatna. KPK. Kami akan memeriksa kantor ini. Ini surat perintahnya, silakan!”