Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ruang Kelas

Peranan Otonomi Daerah Papua

18 April 2024   17:27 Diperbarui: 18 April 2024   17:30 76 1
- PENGERTIAN 
Wilayah Indonesia sangatlah luas dan masyarakat Indonesia terdiri atas berbagai keberagaman
agama, adat istiadat, budaya, dan lain-lain. Otonomi daerah diperlukan agar daerah-daerah di
Indonesia dapat mengusahakan kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya. Sebab, setiap daerah
memiliki kondisi sosial budaya dan lingkungan yang berbeda-beda sehingga penanganan yang
diperlukan dalam setiap daerah pun berbeda.
Otonomi daerah di Indonesia pertama kali diatur dalam UU No. 1 tahun 1945. Undang-undang
ini mengatur tentang Komite Nasional Daerah yang merujuk pada Badan Perwakilan Rakyat
Daerah. Daerah diberikan keleluasaan yang besar untuk mengatur kepentingan daerahnya
tersendiri. Akan tetapi, urusan yang diserahkan kepada daerah tidak diperinci dengan detail.
Kemudian, diterbitkan UU No. 22 tahun 1948 yang mulai menetapkan urusan-urusan yang
diserahkan kepada daerah. Setelah itu, diterbitkan UU No. 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah sebagai pengganti dari UU No. 22 tahun 1948. Keleluasaan Badan
Perwakilan Rakyat Daerah dan kepala daerah dalam mengatur pemerintahan daerah berakhir
sejak diterbitkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan
Presiden No. 6 tahun 1959 dan Penetapan Presiden no. 5 tahun 1960. Penpres tersebut
menjadikan kepala daerah sebagai penguasa tunggal di daerah. Kemudian, diterbitkan UU No.
18 tahun 1965 yang berprinsip otonomi riil, tetapi implementasinya tidak efektif karena
instabilitas kondisi politik. Setelah itu, diterbitkan UU No. 5 tahun 1974 yang mengatur tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Prinsip yang dipakai dalam pemberian otonomi daerah
bukan lagi otonomi yang seluas-luasnya, tetapi otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.
Sebab, prinsip otonomi yang seluas-luasnya dikhawatirkan dapat mengancam keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Undang-undang ini merupakan undang-undang pertama yang
mendasari desentralisasi fiskal dalam otonomi daerah. Akan tetapi, wewenang yang diberikan
kepada pemerintah daerah menjadi sedikit. Selain itu, pelaksanaan otonomi daerah pada masa
Orde Baru dinilai masih terlalu timpang kepada pemerintahan pusat. Hal ini ditunjukkan
melalui pasal 15 dan 16 dari Undang-Undang No. 5 tahun 1974 yang menyatakan salah satu
dari kedua kepala daerah yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat akan dipilih oleh
Menteri Dalam Negeri Dengan demikian, kepala daerah bertanggung jawab terhadap presiden
melalui Menteri Dalam Negeri, bukan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
merepresentasikan rakyat daerah.

- PEMBAHASAN 
Pembahasan RUU Daerah otonomi Baru (DOB) Papua hampir pasti akan disahkan pada Rapat
paripurna DPR, Kamis (30/6) mendatang.
Dalam pembahasan akhir antara Panitia Kerja Komisi II DPR dengan pemerintah, salah satu
hal yang disepakati adalah seluruh anggaran Daerah Otonom Baru (DOB) di Papua akan
diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Berapa besarannya, kata anggota Panja Guspardi Gaus, akan diatur dalam peraturan pemerintah
yang akan disusun.
"Tadinya ada pasal yang berbunyi, manakala anggaran APBD tidak dikucurkan ada sanksi.
Yaitu Menkeu bisa saja memotong anggaran daerah, tapi itu dihapus."
"Jadi bisa dikatakan terwujudkan DOB itu sepenuhnya dianggarkan dari APBN," ujar Guspardi
Gaus kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Senin (27/06).
Selain soal anggaran, Guspardi juga mengatakan setelah RUU ini disetujui menjadi undangundang, maka pemerintah akan menunjuk pejabat sementara sebagai gubernur di tiga provinsi
baru sampai digelar pilkada pada 2024.
Pakar otonomi daerah mengatakan tiga provinsi baru di Papua bisa menjadi daerah otonom
gagal karena tidak ada masa persiapan untuk menjadikan daerah tersebut mandiri secara
finansial maupun secara pemerintahan sebelum diisi pejabat definitif.
Tetapi Komisi II DPR dan Kementerian Dalam Negeri menepis kekhawatiran itu.
Sebab telah ada "jadwal pelantikan pejabat daerah beserta aparatur sipil negara, termasuk
merancang ABPB mini untuk mendukung anggaran tiga provinsi baru tersebut". Akan tetapi
suara penolakan masih mengemuka. Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat menyatakan
pihaknya akan terus melakukan aksi kekerasan jika pemerintah terus melanjutkan rencana
pemekaran di Papua.

- BAGAIMANA KESIAPAN DERAH OTONOMI?
Pakar otonomi daerah, Djohermansyah Djohan, mempertanyakan kesiapan tiga provinsi baru
itu: Papua Tengah, Pegunungan Tengah, dan Papua Selatan menjadi daerah otonom lantaran
"tidak ada masa persiapan yang cukup".
Untuk menjadi daerah yang otonom, kata dia, provinsi tersebut setidaknya harus mandiri secara
ekonomi untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan. Dana itu utamanya diperoleh dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Namun sebagai daerah otonom baru, Djohermansyah menilai kemampuan untuk bisa
mendapatkan PAD "sangat kurang".
"Akibatnya akan ada dana bantuan dari pemerintah pusat. Kalau enggak lancar dana bantuan
dari pemerintah pusat, maka tentu saja daerah otonom itu tidak bisa berjalan dengan baik," ujar
Djohermansyah.
Selain soal finansial, daerah otonom juga semestinya sudah harus memiliki sarana dan
prasarana seperti kantor dan yang tidak kalah penting batas wilayah karena rawan terjadi
konflik dengan provinsi tetangga.
Jika segala syarat itu tidak bisa dipenuhi sebuah provinsi baru, maka dikhawatirkan akan
menjadi daerah otonom gagal, kata Djohermansyah.
Dia merujuk pada studi yang dilakukan Kemendagri dan Bappenas pada 2014 menyebutkan
80% daerah otonom baru yang dibentuk pascareformasi 1999-2004 gagal, lantaran tidak ada
masa persiapan dan pembentukannya lebih didominasi kepentingan politis.
"Pada masa Reformasi terjadi animo keinginan pemekaran tinggi dan tidak terkendali. DPR RI
langsung mengangkat aspirasi itu dan pemerintah diminta menerima sehingga dibentuk daerah
otonom tanpa kajian yang baik," katanya.
"Sejak 1999-2004 ada 223 daeerah otonom baru dalam tempo 15 tahun. Delapan puluh persen
gagal."
Berkaca pada kegagalan itu, menurut Djohermansyah, pemerintah semestinya membentuk
daerah persiapan terlebih dahulu sebelum akhirnya menjadi daerah otonom.
Masa persiapan itu berlangsung selama tiga tahun. Dalam masa persiapan ini, provinsi induk
yakni Provinsi Papua memiliki peran besar untuk merekrut aparatur sipil negara hingga
membangun infrastruktur yang dibutuhkan.
"Kalau langsung jadi provinsi otonom, bisa saja nanti persiapan kurang baik. Misalnya
pelayanan publik jadi menurun karena yang tadinya di provinsi induk jadi tidak bisa."
"Pembiayaan pemerintahannya juga jadi tidak stabil. Ujung-ujungnya jadi daerah otonom
gagal," kata Djohermansyah.

- EKSPLOITASI SUMBER DAYA ALAM SECARA BESAR-BESARAN 
Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) di antaranya adalah pajak dan retribusi daerah.
Namun menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
(KPPOD), Herman Suparman, hampir semua daerah termasuk di Papua mengalami kesulitan
untuk mandiri secara finansial.
Sebab pungutan atas pajak maupun retribusi itu hanya menguntungkan daerah yang berkarakter
urban atau perkotaan. Sementara wilayah seperti Papua yang minim industri jasa dan
perdagangan dinilai akan sangat sedikit memperoleh PAD.
Dan jika suatu daerah sangat bergantung pada dana transfer ke daerah (TKDD) yang berasal
dari pemerintah pusat, maka daerah tersebut belum bisa disebut mandiri atau otonom,
Djohermansyah Djohan sependapat dengan hal itu.
Hasil penelitian LSM Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) pada 2020
menunjukkan selama 2016 hingga 2019, berturut-turut PAD Papua tidak pernah mencapai 10%
dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Kepala Badan Pengelolaan Daerah (Bappeda) Provinsi Papua, MB Setiyo Wahyidi, bahkan
mengatakan sumbangan PAD Papua terbesar masih dari PT Freeport Indonesia.
Pemerintah Tepis Kekhawatiran
Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah Dirjen
Otda Kemendagri, Valentinus Sudarjanto, menjamin tiga provinsi baru di Papua itu "tidak akan
menjadi daerah otonom gagal".
Sebab pihaknya telah menyusun pembentukan pemerintahan di masing-masing provinsi. Mulai
dari jadwal pelantikan pejabat sementara gubernur hingga perekrutan aparatur sipil negara.
Termasuk merancang APBD mini sehingga pemerintahan bisa berjalan.
"Kalau dibilang gagal, saya pastikan tidak. Pasti berjalan. Karena kita sudah mematok jadwal
mulai dari penunjukkan pejabat sementara gubernur dan ini betul-betul dikawal khusus," tegas
Valentinus Sudarjanto.
Hitungan sementara Kemendagri, dana yang dibutuhkan per tahun untuk satu provinsi baru
sebesar Rp700 miliar hingga Rp1 triliun.
Namun selain dari APBN, Valentinus mengatakan ada kemungkinan memperoleh dana hibah
dari provinsi lain di Papua.
"Tanpa kita minta, mereka katakan siap hibahkan anggaran untuk mendukung provinsi ini dan
anggaran itu harus dijaga penggunaannya agar tidak terjadi penyalahgunaan.

DOB (PEMEKARAN DAERAH)
Meski Panja Komisi II DPR dan pemerintah mengeklaim hampir semua kepala daerah di Papua
menerima rencana pemekaran wilayah, tetapi gelombang penolakan pembentukan tiga provinsi
baru itu terus mengemuka.
"Kami tegaskan kepada DPR dan pemerintah Indonesia segera cabut dan hentikan DOB. Kalau
dipaksa, kami akan membunuh siapa saja yang masuk ke wilayah tanah leluhur kami. Karena
kami menganggap Anda semua bagian dari kolonialisme," uhar Sebby Sambom dalam pesan
singkat kepada BBC News Indonesia.
Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB)
Papua berlangsung cepat atau hanya berjalan selama dua bulan.
Selama itu pula, sejumlah aksi untuk rasa dari berbagai elemen mahasiswa berlangsung di
jalan-jalan di Kota Jayapura dan Waena.
Pihak yang menolak menilai pembahasan RUU ini terburu-buru dan tidak menyerap aspirasi
orang Papua.
Tetapi DPR mengeklaim proses pembahasannya berjalan transparan dan akuntabel.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun