SATRIO, 21 bulan, ketika ditemui Tim Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) Dompet Dhuafa di rumah kontrakkan orang tuanya, Jl. Kenari, Sawah Lama, Ciputat, Tangsel, Banten, minggu lalu,  terlihat ceria, sehat dan lincah. Ia sedang bercanda sama kakaknya Agung yang tengah menonton televisi. Hari itu Agung tidak masuk sekolah karena sakit. Jadi ia minta izin untuk memulihkan sakitnya. Ia pun memiliki kesempatan banyak untuk bercanda dengan adiknya. Sebelum 22 Desember 2011 lalu, mungkin Agung tidak leluasa bercanda dengan adiknya ini. Saat itu, jika lelah sedikit saja, seluruh tubuh Satrio membiru. Ia tidak seperti anak-anak normal, berat badannya sudah di bawah garis merah grafik di Kartu Menuju Sehat (KMS). Ia sudah jatuh ke gizi buruk. Setiap makanan yang disuapi kembali dimuntahkannya. Begitu juga kalau susu yang disuguhkan, juga tak ditelannya. Ia lemas, loyo, rewel dan tak asyik untuk diajak bermain dan bercanda oleh sang kakak. "Sudah sejak bayinya begitu, tapi kami tidak tahu harus membawa anak keenam kami ini ke mana. Kami tidak punya duit," tutur Girah, 51 tahun, ibu Satrio. Menurut cerita ibunya, Satrio lahir normal. Tapi lama kelamaan ia sering kejang-kejang dan tubuhnya membiru. Ia hanya mampu membawa Satrio ke Puskesmas. Kata dokter Puskesmas, ia berkemungkinan menderita penyakit jantung. Satrio diberi surat rujukan ke rumah sakit yang lebih besar. Tapi Girah dan suaminya Sudarmanto, 54 tahun, tidak pernah membawa Satrio ke  rumah sakit rujukan itu, dengan alasan tak ada biaya. Menjadi pekerja serabutan, ternyata penghasilan Sudarmanto tidak melebihi kebutuhan keluarga. Bahkan kontrakan mereka yang sebelumnya di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan dipindahkan ke kawasan yang lebih murah di Ciputat. Bersyukur 3 orang anaknya yang perempuan sudah dinikahkan sehingga sudah dibawa dan menjadi tanggungan suaminya masing-masing. Tinggal 3 orang anak laki-lakinya yang menjadi tanggungjawab Sudarmanto sehari-hari. Beban itu semakin berat saja ketika mendengar klaim dokter, bahwa Satrio menderita jantung bocor dan harus dioperasi segera. Sebagai orang yang tak berpunya, yang dipelihara oleh negara, demikian menurut undang-undang dasar, Sudarmanto dan Girah, tidak bisa menikmati haknya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan gratis dengan menggunakan fasiltas Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)--yang menurut teorinya diperuntukkan untuk orang miskin. Masalahnya, sejak ia menikah tahun 1980 lalu, Sudarmanto belum memiliki kartu KK, pasalnya KTP suami dan isteri yang berbeda-beda lokasi dan sudah mati. Sebagai orang yang hidup berpindah-pindah dari kontrakkan satu ke kontrakkan yang lain, ia kesulitan untuk membuat surat pindah dari pemerintahan di mana ia berdomisili. "Maklum di Jakarta nggak ada yang gratis, dari RT sampai seterusnya kita harus tinggalin pelicin, kalau mau lancar," tutur Girah. Apalagi sejak datang dari Kediri, Jawa Tengah, kampungnya, di masa gadis dulu, ia juga tidak membawa surat keterangan apa-apa datang ke Jakarta. Jadi untuk menjadi warga ber-KTP Jakarta, sejatinya sangat susah diharapkan, kecuali uang yang berbicara. Tapi itu dulu, sekarang musimnya KTP elektronik, sehingga kemungkinan ada bayar sana, bayar sini, sudah berkurang. Tapi tetap saja kalau KTP lama (KTP kampung), ketika mengurus KTP Jakarta memerlukan surat pindah dari kampungnya. Untuk mengurus surat pindah ke kampung perlu waktu lagi. Sementara penyakit Satrio tidak bisa menunggu KTP dan KK bapak ibunya selesai, tubuhnya yang tadinya membiru sudah menjadi ungu. Di tengah paniknya Sudarmanto dan Girah, terdengar khabar olehnya tentang keberadaan LKC Dompet Dhuafa, dari tetangga-tetangganya di Ciputat. Dalam kondisi tubuh Satri0 yang membiru-biru itu ia dibawa ke LKC Dompet Dhuafa dan diperiksa dokter umum. Kemudian dokter umum pun merujuknya ke dokter spesialis anak LKC Dompet Dhuafa. Selanjutnya Satrio diperiksa oleh Spesialis Anak, dr. Asti Praborini, Sp.A, IBCLC., dan langsung merujuknya ke RSCM untuk segera dioperasi. Di sini pun mulai terkendala, karena pelayanan LKC Dompet Dhuafa  gratis untuk member, karena LKC Dompet Dhuafa dibiayai dari dana zakat yang terkumpul dari umat. Jadi mustahik yang ingin mendapat layanan dari LKC harus terlebih dahulu menjadi member dan lolos verifikasi. "Sementara Satrio, waktu itu belum menjadi member. Karena foto copy KK, KTP dan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari kelurahan sebagai data awal untuk mendaftar di LKC Dompet Dhuafa tidak ada," jelas Rahayu Rahmani, Kepala Bagian Keperawatan LKC Dompet Dhuafa. Karena kondisi pasien darurat, lanjut Rahayu, tim verifikasi langsung turun ke rumah dan melakukan survey. Hasilnya pun menunjukkan, keluarga Sudarmanto adalah benar-benar orang yang layak menjadi mustahik dan berhak mendapatkan bagian dari uang zakat melalui pelayanan kesehatan secara cuma-cuma. Meskipun ia tidak memiliki data administrasi kependudukan yang berlaku. Berbekal rekomendasi dari tim verifikasi ini, tim medis pun bergerak. Secara marathon mulai tanggal 2 Desember 2011, Satrio sudah diperiksakan ke RSCM. Dipilih RSCM karena rumah sakit tersebut memiliki Pelayanan Jantung Terpadu (PJT) dan di sana sahabat-sahabat dr. Asti Praborini yang sama-sama spesialis anak pun siap membantu. Selanjutnya 21 Desember 2011, Satrio masuk ruang rawat inap RSCM dan esok harinya 22 Desember, pas di Hari Ibu, Satrio dioperasi dengan biaya umum dan menghabiskan dana sekitar Rp55juta dari ratusan juta yang diperhitungkan awal. Syukurlah LKC Dompet Dhuafa tidak sendiri membantu Satrio, Mitra LKC Dompet Dhuafa PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) turut membantu Rp30 juta rupiah. Dan selamatlah Satrio dari ancaman jantung bocor. Kini ia sudah sembuh, tubuhnya tidak lagi membiru dan tidak lagi gizi buruk. Derai tawanya pun senantiasa terdengar tatkala sang kakak mengajaknya bercanda. Sehat selalu Satrio!. -
Maifil
KEMBALI KE ARTIKEL