Namun dibalik baju-baju yang terpajang dan salah satunya mungkin ada di lemari baju anda, tahukan anda di mana baju-baju tersebut diproduksi? Tentu tidak di kantor pusat brand ini. Mana mungkin warga negara di sana (upah nasional Rp. 250 ribu per jam) Â mau menjahit helai demi helai bahan menjadi celana, jas, atau kemeja yang "tres a la mode" dengan gaji hanya sekitar Rp. 750.000 perbulan (untuk busana yang harga satuannya dapat mencapai hampir dua juta rupiah!).
Lalu di mana? Salah satu pemasok terbesar brand ini adalah Bangladesh. Ini tentu bukan rahasia karena keterangan ini tertera di label bagian dalam produk. Bangladesh, negara di mana satu bencana besar terjadi tahun 2013 saat sebuah gedung bernama Rana Plaza ambruk menewaskan lebih dari seribu orang. Banyak dari korban tewas merupakan karyawan yang bekerja untuk pemasok berbagai Brand terkemuka dunia, salah satunya tentu brand Skandinavia yang sedang saya bicarakan (tapi juga brand-brand lain yang harganya lebih tidak masuk akal--untuk ukuran kantong saya).
Sejak peristiwa itu dunia suram industri garmen multi-nasional terkuak secara telanjang. Berbagai langkah diambil perusahaan-perusahaan pakaian jadi ukuran dunia tersebut untuk memastikan produk mereka memenuhi semua standar keselamatan. Tujuannya tentu untuk mencegah terulangnya pelanggaran yang terjadi pada rana plaza (gedung yang tidak sesuai peruntukan dan penambahan jumlah lantai bangunan tanpa mengindahkan ketahanan struktur). Namun apakah itu cukup?
Sebuah program investigasi televisi Belgia baru-baru ini menurunkan cerita tentang Pemasok brand dari belahan eropa utara ini. Penyelidikan yang dilakukan di Bangladesh, ditemukan salah satu pemasok yang mendirikan bagunan di tanah rawa yang direklamasi. Kunjungan lapangan yang dilakukan menemukan pembuangan air limbah yang tidak layak dan banyak keretakan yang terlihat pada bangunan. Pemilik bangunan mengklaim telah mendapatkan sertifikat dari dinas setempat (yang tidak bisa memverifikasi kebenaran sertifikat tersebut??). Ditemukan juga arsitek yang membangun bangunan tersebut tak diketahui rimbanya. Nomor ijin profesi arsiteknya ternyata milik arsitek lain yang telah berpuluh tahun tinggal di Los Angeles dan tidak tahu menahu mengenai bangunan tersebut.
Lalu ditemukan juga jam kerja lembur karyawan yang melebihi aturan lembur lokal (lebih dari 72 jam seminggu). Pekerja dipaksa bekerja hingga melewati jam 10 malam dengan makan malam sebuah pisang dan sepotong roti. Sebuah ironi karena tangan dan keringat mereka menghasilkan produk dengan keuntungan triliyunan dolar.
Di Ethiopia (negara pemasok lain) lebih suram lagi. Di sana karyawan dapat digaji serendah-rendahnya sekitar 500 ribu rupiah sebulan. Tidak ada acuan gaji yang diatur pemerintah untuk sektor ini. Pemilik dari perusahaan pemasok merupakan orang terkaya nomor 61 di dunia. Dari hasil penelusuran, sang pemilik disinyalir melanggar hak asasi manusia dalam proses pembukaan lahan pertanian yang mengusir paksa seluruh warga satu desa.
Ini semua ditambah dengan fakta bahwa dengan strategi yang lihai, perusahaan dengan toko di berbagai belahan dunia ini hanya membayar secuil pajak untuk negara tempat produk di jual (seperti Indonesia), atau bahkan tidak sama sekali di tempat dimana perusaan memiliki perwakilan dan dapur produksi (Bangladesh, Ethiopia).
Perlu dicatat bahwa tentu saja banyak perusahaan sejenis dengan model usaha serupa.
Sumber:
Questions a la Une RTBF/ TV5 Monde.
http://en.wikipedia.org/wiki/2013_Savar_building_collapse