Mencintaimu, kadang buatku begitu kuat. Aku merasa menjadi yang paling kuat, aku merasa mampu menghadapi dan menerima kenyataan apa pun. Kamu, buatku hidup dengan semua kenyataan yang kadang buatku cemas.
Mencintaimu, kadang buatku takut, bagai mana kalau yang kita jalani ini hanya persinggahan saja untuk nanti tetap di hati lain. Aku takut, semua terjadi. Tak bisa membayangakn bagaimana rasa ini menyatu dengan semua bentuk, warna dan variannya. Aku pun mengejanya, dengan sisa percaya diriku.
Mencintaimu, seperti menumpahkan sekian ribu rasa yang terpendam. Semua khayalan yang memekkaan jiwa. Aku terpenjara di hutan penuh sunyi, kamu di sana melayani aku-- seperti apa yang aku suka dan mau. Karena ketika aku suka, kamu pasti mau. Ketika kamu mau, aku pun suka.
Mencintaimu, sering buatku sesak meski aku tak punya riwayat itu. Rasa rindu yang memuncak kadang buatku resah dan terbakar, aku ingin kamu sedangkan jutaan kilomter memenara semua rindu itu. Kamu tahu, aku kadang menangisi itu semua, daripada dosa-dosaku yang kian hari menumpuk.
Mencintaimu, kadang membuatku heran. Berkali-kali kamu meminta bertemu, berharap ketemu dan sedetik saja berjumpa, tapi takdir punya takdir lain maka aku sering merasa tiada guna. Apalagi melihat kamu, menangisinya. Ya, kamu pun merasakan tiap gejolak itu, tiap waktu makin menjadi; manangis luapan termudah dilakukan.
Mencintaimu, kenapa bisa sebesar ini. Kita dua insan yang tak pernah bertemu, dua rasa yang tak pernah nyata bertatap muka. Kita dua insan yang tersesat di komunitas, dan yang menyesatkan kita pergi entah ke mana. Di sana kita bertemu, menyapa dan berbagi cerita.
Proses itu, betapa manja kamu. Betapa rapuh dan imut, dengan pesona yang meruntuhkan jiwaku. Entahlah kenapa, aku mau bersaing meski aku tahu, ada satu nama di sana. Entah kenapa, aku merasa yakin. Aku ingin kamu, hem, di saat yang sebenarnya aku kebingungan memahami diri dan karaktermu.
Mencintaimu, membuat aku yakin, cinta sejati itu bukan untuk dicari tapi untuk kita lakukan bersama yang kita sayangi. Kalau kamu punya kekurangan, itu sebuah kenyataan. Bukan untuk disesali, toh aku juga punya banyak kekurangan, seharusnya untuk kita perjuangkan bagaimana membangun kenyamanan bersama.
Ketika aku salah, jangan lari. Bantu aku untuk sadar, tahu dan memperbaiki. Ketika kamu khilaf, jangan dicaci. Cari tahu kenapa, obrolkan dan perbaiki selagi bisa. Jangan cari orang ketika aku diam, ajak aku bicara. Jangan cari alasan pergi ketika kamu keras kepala, karena saat itu aku hanya butuh mendinginkan jiwamu dan isi hatimu. Yang mungkin penuh prasangka, yang belum aku tahu dan belum kamu beri tahu.
Mencintaimu sebenarnya sebuah seni, untuk aku belajar dan memahami diriku. Sebab, orang yang tak tahu diri tak akan memahami diri orang lain. Ia sibuk mencari kesalahan dari pasangannya, padahal pasangannya mati-matian meyakinkan dirnya dan memperjuangkan dirinya. Ia tetap tak sadar, terus menyalahkannya. Ia ingin kesempurnaan tapi lupa berkaca seperti apa dirinya.
Mencintaimu membuatku kuat meski ujian di depan datang silih berganti. Di saat kita terjaga, ingin bercengkrama mesra bersama purnama dalam sunyi, ada lagi yang merontokkan bersama itu. Aku merasa tak berdaya, dan aku merasa tertatih. Kamu ada di sana, menguatkanku. Mengepal tanganku, membangunkanku lantas berbisik,
"Jangan paksa aku memadamkan mentari pagi di hatiku. Sekali-kali jangan. Aku mungkin rapuh di mata mereka, tak apa. Asal kamu tahu, lebih baik aku berselimut gelap dari pada sinar yang penuh pura-pura."
Mencintaimu, menyadarkan aku dan kamu, kita dua insan yang tidak tahu takdir dan goresan masa. Kita mungkin ingin, maka kita jalani. Kita tak berandai-andai soal esok, kita bukan pemegang skenario. Kita hanya percaya, apa yang kita perjuangkan untuk, demi, dan hanya syukur atas nikmat Allah di dasar hati.
Semoga Allah memudahkan jalan itu seperti dan bagaimana caranya. Terasa berat, semoga penuh barokat. (***)
Pandeglang, 6 Oktober 2024 Â 22.11