Aku yang ingin mengazani bapak tak kuasa berbuat apa-apa. Tubuhku lemas, badanku bergetar dan mataku tak henti dibanjiri dari sisa tangis semalam. Rasanya, begitu cepat memisahkan ragaku dengan bapak.
Padahal sebelumnya sempat bercanda, ngobrol juga dan minta doa pula. Ternyata detik-detik menjemput malakul maut di depan mata. Andai aku tahu mungkin tubuh bapak yang tak lama lagi terbujur kaku itu aku peluk sekencang-kencangnya.
Siapa nyana, masa bergerak begitu cepat.
Di kuburan tadi aku melihat kesedihan dan kesunyian. Lihatlah jiwa, di sini kelak kamu akan terkubur. Di mana mimpimu. Di mana anganmu. Di mana hartamu. Di mana segaka egoisme mu. Semua purna oleh keabadian.
Bapak yang dulu begitu dekat badannya, kini hanya pusara. Berkasur tanah, berbantal tanah, di temani melata dan sana-sini tanah saja. Bukan cor atau semen tapi hanya tumpukkan tanah yang diinjak-injak. Ya Allah, bapak!
Â
Satu hal yang aku pahami sekarang, aku harus lebih kuat dari sebelumnya. Bagiamana pun menjadi orang yang menjadi tulang punggung tak ringan. Aku harus lebih bersabar dan mengutamakan kepentingan keluarga. Berlatih mengendalikan mimpi, asa dan semua ambisi.
Terlebih dengan tubuh Emak yang tak lagi sebugar dulu. Semua menjadi samar tapi harus aku akui penuh tantangan. Di satu sisi aku ingin mengeluh, di lain sisi aku bersyukur atas segala nikmat Ilahi. Aku pikir semua bukan hal begitu saja terjadi, semua tercatat indah di buku kehidupan ku.
Teringat lagu Bang Haji Rhoma, Kalau sudah tiada sungguh terasa. Bahwa kehadirannya sungguh terasa. Semoga Allah limpahkan rahmat dan kasihnya di sana, Pak. (**)