Lucunya, orang yang bersangkutan biasa saja. Tak punya tendensi apa-apa. Kita mungkin geram ke dia, lah dia yang heran, ada apa dengan kita. Kita itu lucu, seolah-olah kalau kita jengkel orang tahu isi hati kita.
Saat kita tak enak hati, dan pikiran kita meracau ke mana-mana. Kita seperti yakin, orang tahu apa yang kita risaukan dan kejengkelan semuanya. Oleh karenanya kita membenarkan, saat wajah kita masam tak semanis madu itu karena tabungan kejengelan tersebut.
Lucunya, saat orang lain masam ke kita, tanpa alasan bahkan dengan alasan yang kita tahu misalnya, kita heran, "Ada apa dengan dia, ya?" "Apa ini gara-gara kemarin, aku kentut di depan wajahnya? Kayaknya sih gak mungkin, orang biasanya begitu." "Mungkin karena pas dia lagi enak makan bakso, terus aku ambil dan habiskan. Dia pun bengong dengan penuh kekesalan."
Padahal, apa yang kita pikirkan belum tentu sama. Sama-sama berpikir sih, ya. Berpikir karena kita makhul berpikir. Karena kita punya akal. Karena kita punya alat untuk menerka. Kita tak mengandalkan indra tanpa menganalisisnya. Berbeda dengan hewan. Berbeda dengan binatang. Berbeda dengan orang bodoh.
Itulah kenapa manusia disebut hayawanu natik. Karena di posisi tertentu kita akan sama, ketika nikmat akal tak digunakan. Nikmat iman tak dilakoni. Nikmat Islam tak dipahami sebagai manifestasi amal, bukan sekedar pengakuan saja. Apa artinya keyakinan tanpa bukti?
Jadi begitulah, kita tak selalu bisa mengukur pikiran dan perasaan orang. Mungkin saat tertentu bisa, di saat yang lain belum tentu. Artinya, jangan sotoy! (***)