Di kampung sebelah ditangkap seorang kiai muda yang menggauli adik isterinya. Entah gimana ceritanya, kasus ini mencuat. Kiai muda itu tertangkap basah lagi sama adik iparnya. Pelaku pun sudah ditangkap pihak berwajib. Memang sempat menolak mengaku laku bejatnya karena mau disterum pihak berwajib, baru ia mengaku.
Padahal kata Mang Muhi, kiai itu sedang naik daun. Ia punya santri yang cukup banyak, pria-wanita. Kitab yang dikaji pun cukup berat untuk ukuran kampung, baik fiqih, tafsir sampai tasawuf pun intens dikaji. Namun apa guna, syahwat mengancurkan reputasi baiknya.
Di dekat Cadasari pun ditangkap seorang kiai yang "dianggap sesat". Bagaimana tidak, seorang kiai yang seharusnya menjadi teladan dalam praktek beragama, lah dia mengotori itu. Tak sedikit santriwatinya dirudapaksa olehnya. Kabarnya, selama ini dia tinggal serumah dengan isterinya, diduga itu bukan isterinya karena tak pernah ada akad nikah!
Kalau bicara keilmuan, kiai ini rajin ikut sorogan kajian kitab Abuya Muhtadi di Cidahu. Tiap penentuan lebaran pun ia selalu manut pada Abuya. Rajin puasa dan ritual lainnya. Banyak yang ngalap berkah ke dia. Kabarnya, tak sedikit yang menyebutnya Abuya pula.
Siapa sangka, semua tabir terbuka. Ada korbannya yang berani melaporkan ke pihak kepolisian. Lucunya, pernah ia ditangkap polisi, nginap semalam di jeruji besi dan besok bebas, melanggeng ke rumahnya. Makanya, banyak korban agak takut melaporkan pelaku. Pastinya bakal mendapat intimidasi juga tekanan.
Syukurnya, kembali ditangkap dengan kasus yang sama. Saya sendiri sempat mempertanyakaan kenapa gak ada pers melaporkan di media. Katanya itu sengaja "tidak diangkat media" karena suruhan tokoh sepuh agama di Banten agar tidak jadi preseden buruk di mata masyarakat dan menjadi kegaduhan.
Soal pers dibungkam ini sebenarnya saya kurang setuju. Pers itu kan untuk memberi informasi kepada masyarakat. Biarkan masyarakat tahu apa adanya informasi itu. Dengan tahu nanti lebih waspada jika ada indikasi tokoh agama cabul bisa langsung dilaporkan ke pihak berwajib. Hal seperti ini bisa jadi edukasi pada orang awam agak tidak takut dengan oknum yang kadang berkedok kesucian.
Kami pun sempat sedikit membahas kitab Hikam-nya Ibnu Atthoilah. Namun ada hal yang agak berlebihan Mang Muhi memahaminya. Misalnya soal rejeki. Ia menceritakan di kitab Hikam disebutkan hakikat sesuatu itu dari Allah. Ulama Sufi meyakini ini dengan mutlak.
Mang Muhi mencontohkan, ada seorang santri yang pamit ke kiainya mau pulang karena ia kehabisan bekal. Gurunya tentu mengijinkan. Santri ini pulang karena ia yakin orang tuanya punya uang yang bakal ia minta untuk bekal di pondok. Di sini, kata Mang Muhi, jelas santri itu telah musyrk.
Kenapa begitu? Karena santri ini menyandarkan rejeki pada orangtuanya bukan pada Allah. Padahal hakikat rejeki itu dari Allah bukan selainnya. Di sini jelas. santri itu musysrik. Katakan santri itu pulang lagi ke pondok karena sudah dapat bekal, di perjalanjan tertabrak mobil dan tewas. Maka tewasnya ini dihukumu musyrik!
Saya menyanggah, mungkin fasiq bukan syirik. Sebab dosa paling besar itu ya syirik, Mang Muhi tetap menyanggah tetap mati musyrik sebab menyandarkan rejeki pada orangtuanya bukan pada Allah. Konsekwensi agama terhadap orang syirik pun lumayan berat, jadi tidak boleh gegabah.
Jujur saja saya kurang setuju. Setahu saya wilayah musyrik itu tidak hanya dilihat secara sesederhana itu, terkecuali jelas secara amal dan i'tikad santri itu meyakini rejeki hanya dari orangtuanya, maka dimaklumi musyrik. Lah ini, dia meminta ke orangtuanhya karena meyakini orangtuanya wasilah rejeki dari Allah. Bukan memaklumatkan orangtuanya jadi Tuhan, jadi jelas soalnya, apalagi santri itu belajar tauhid pula di pondok, masa iya semudah itu dihukumi syirik!
Memahami obrolan dengan Mang Muhi ini saya ingat tuduhan dari sebagain kaum cendekiawan, bahwa kenapa Islam mengalami kemunduran berabad-abad, tak lain karena kita terpapar "paham tasawuf". Fase ini ketika Imam Al-Ghazali dengan gerakan Ihya Ulumudinnya yang dicerna sepihak. Sampai sekarang banyak kaum muslimin melihat sepihak terhadap sesuatu tanpa mau capek membandingkan dengan bidang keilmuan lain. Lebih suka menghakimi daripada mencari solusi.
Hemat saya, tak ada soal paham tasawuf ini ketika dipelajari secara lengkap dan urut. Toh, banyak kok yang memahami tasawuf dan mereka bisa relete dengan kenyataan. Masalahnya, bukan pada ilmu tasawuf tapi bagaimana kita menalar dengan logika sehat. Tasawuf kan bidang ilmu juga, maka tak ada salah mengkajinya sebagai tingkatan yang cukup tinggi di hirarki kajian di dunia pondok.
Sampai di sini, benar kata nabi, belajar itu dari buaian sampai liang lahad. Maksudnya adalah jangan berhenti menambah pengetahuan selama kita mampu. Semangat keilmuan ini harus dipelihara. Tak hanya satu bidang, pun bidang lain pun layak pula dikaji sebagai tambahan wawasan kita. Wallahu'alam. (***)
Pandeglang, 10 September 2024 Â 15.19