Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Politik Pencitraan

4 November 2011   04:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:04 208 0

Citra dapat diartikan suatu image/picture atau penampakan yang bisa ditangkap oleh indra khususnya indra penglihatan. Sebuah penampakan akan mengirimkan sinyal ke otak dan memunculkan suatu persepsi. Setidaknya inilah yang selalu dimanfaatkan oleh publik figur baik artis maupun politikus.

Penampakan seseorang di depan publik belum tentu sama dengan kondisi sebenarnya saat ia berada di wilayah privat. Upaya tersebut bertujuan untuk menutupi hal-hal yang tidak pantas menjadi pantas, yang tidak sopan menjadi terlihat santun.

Bicara pencitraan di dunia politik sebenarnya sudah ada sejak jaman dulu. Almarhum Soekarno mantan Presiden RI adalah jagonya. Betapa banyak orang terkagum-kagum saat beliau berorasi di podium. Gaya bicara dan body language-nya saat bernegosiasi maupun menerima tamu negara menunjukkan citra betapa berwibawanya beliau sebagai seorang pemimpin bangsa. Demikian halnya almarhum Soeharto mantan presiden Ri kedua, dengan gaya bicara yang santai dan murah senyum menunjukkan citra beliau sebagai orang yang ramah dan memiliki jiwa sosial yang tinggi. Ini dibuktikan dengan banyaknya yayasan yang bergerak di bidang sosial antara lain salah satunya Yayasan Supersemar yang sering memberikan beasiswa bagi siswa yang tidak mampu, Yayasan Kanker Darmais juga didirikan atas prakarsa beliau.

Pak Habibie presiden RI ke-3 bukan tidak memikirkan citra tapi beliau lebih suka berfikir secara ilmiah saja. Yang paling tidak pernah memikirkan image adalah almarhum Gus Dur, mantan presiden RI ke-4. Dengan gaya bicara ceplas-ceplos dan semaunya mengakibatkan banyak pihak yang tidak terlalu suka dan kadang membuat “merah kuping” dan akhirnya berujung pada pelengseran beliau dari istana. Lain lagi yang dilakukan oleh Megawati sebagai presiden RI ke-5, membangun image dengan cara mengusung semangat Bapaknya dengan sesekali meniru gaya bicaranya “merdeka!”

Saat ini kita bertemu lagi dengan presiden yang juga sangat memperhatikan image/citra. Caranya pun berbeda dengan para pendahulunya. Sejak mulai menjabat sebagai Presiden RI tanggal 20 Oktober 2004 dengan sedikit “melo” beliau sering sekali “curhat” di depan publik. “Saya ini difitnah!” “Ada yang menjadikan saya sebagai sasaran tembak!”, dan cobalah perhatikan......bila ada sesuatu isyu yang mengarah ke Istana atau Partai Demokrat, maka besoknya muncul pidato beliau dan puluhan spanduk senada bertebaran di sudut-sudut ibukota.

Sekarang, rakyat sudah mulai terbiasa dengan curhat pemimpinnya, sehingga bukanlah sesuatu yang penting untuk didengar atau diperhatikan layaknya pidato pak Karno jaman dulu. Karena curhatnya lebih pada persoalan pribadi bukan urusan rakyat yang pusing tujuh keliling menghadapi beratnya beban hidup.

Jujur saya lebih suka cara Pak Harto membangun image sebagai seorang yang dermawan dengan mendirikan puluhan yayasan yang bergerak di bidang sosial. Meskipun bisa menjadi ladang “cari muka” oleh orang-orang yang ingin mendekat ke lingkaran istana dengan cara menyetor sejumlah dana ke yayasan-yayasan itu.

Lalu apa manfaatnya bagi rakyat yang tak kunjung lepas dari cengkeraman kemiskinan dengan peluncuran album pertama “Rinduku Padamu” tahun 2006, “Majulah Negeri” tahun 2007 “Kuyakin Sampai Disana” tahun 2010 dan tahun ini bertajuk “Harmoni” baru saja diluncurkan 31 Oktober 2011 yang lalu.

Supaya berimbang, selama menjabat Pak SBY juga mendirikan beberapa yayasan antara lain Yayasan Mutumanikam, Yayasan Puri Cikeas, Yayasan Majelis Dzikir Nurussalam, Yayasan Sulam Indonesia, Yayasan Batik Indonesia, Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian. Yayasan-yayasan itulah yang kemarin diributkan oleh George Aditjondro dalam bukunya “Gurita Cikeas”

Jadi kesimpulannya, Politik Pencitraan akan selalu ada disetiap zaman dengan cara yang berbeda dan tentunya persepsi yang terbentuk juga berbeda-beda, ada yang produktif dan ada yang kontra produktif.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun