Bis yang aku tumpangi ini penuh sesak. Hampir tak ada ruang tersisa di kotak besi ini. Semua kursi terisi penuh. Penumpang yang tak mendapatkan kursi harus rela bergelantungan di bagian tengah. Ini hampir jam enam petang tapi aku masih di perjalanan. Tragedi lumpur panas Sidoarjo membuat perjalanan Surabaya – Malang yang semula bisa ditempuh kurang dari dua jam kini bisa mendadak menjadi dua jam setengah bahkan bisa lebih. Jalan tol Surabaya – Porong itu sudah raib entah kemana, yang ada hanya lautan lumpur dengan asap mengepul tanpa henti. Semua kendaraan teralih secara otomatis ke jalan porong. Bis ini terseok-seok di antara kemacetan yang menjadi makanan rutin setelah tragedi itu terjadi. Segala bentuk kehidupan ekonomi, sosial, budaya masyarakat sekitar lumpur panas berubah drastis. Kemiskinan muncul tanpa di duga-duga, pengangguran datang tanpa pemberitahuan sebelumnya, ratusan orang seketika berpredikat tunawisma. Semua begitu mengerikan. Jalan yang semula mulus harus rela menjadi bulan-bulanan roda-roda kendaraan besar tanpa henti, akibatnya jalan menjadi sakit parah dan susah untuk di sembuhkan. Tiap kali disembuhkan dengan menambal bagian ini itu, jalan tetap menjadi bulan-bulanan roda-roda kendaraan besar yang seharusnya tak melewatinya. Aku ingin cepat-cepat sampai rumah, meskipun rasanya tak mungkin karena ini adalah malam minggu. Kendaraan berjejalan di satu jalan penyambung nyawa dua kota besar, Surabaya dan Malang. Bis ini tak berpendingin. Keringatku meleleh dari kedua pelipisku, leherku juga bernasib sama. Hampir semua penumpang melakukan hal yang sama, mengambil benda apa saja di tas mereka untuk sekedar di jadikan kipas pengusir panas. Matahari sudah benar-benar pulang ke peraduannya, menyisakan gelap di mana-mana. Mataku terarah pada seorang anak laki-laki, kira-kira kelas 9 SMP, yang sedang duduk di sebelah ayahnya. Ia sedang asyik main game dari hand phonenya. Ia tak memperdulikan keringat yang membasahi kerah bajunya. Sosoknya mengingatkanku pada Tegar, adikku. Betapa aku sangat mencintainya. Perjalanan ini untuk menemuinya. Semua buku yang aku bawa sekarang untuknya, adik lelakiku satu-satunya. Tak terasa air mataku menganak sungai.