Berani itu harus yang benar, bukan berani asal berani. Keberanian itu harus diperhitungkan, dan dipikirkan matang-matang. Tanpa perhitungan dan pemikiran, itu nekat namanya, bukan keberanian.
Misalnya, jika kita berani menguji nyali dengan bermain flying fox, maka pastikan tali pengamannya aman. Jika kalian lompat tanpa tali pengaman, itu bukan berani, tetapi nekat menjatuhkan diri namanya.
Jadi, dalam keberanian harus ada pengamanan. Pengamanan ini yang perlu diperhitungkan dan dipikirkan. Pemimpin perlu melakukan cek dan ricek sebelum mengambil tindakan dan keputusan. Jika tidak, akibatnya bisa sangat fatal. Bagi dirinya dan bagi orang-orang yang dipimpinnya.
Lawan dari keberanian adalah ketakutan. Agar menjadi berani, ketakutan harus dilawan. Ada banyak penyebab rasa takut. Ada faktor yang datang dari dalam diri dan ada faktor dari luar. Ada yang mudah, dan ada yang sulit dihadapi.
Seringnya, melawan ketakutan tidak semudah yang dibayangkan. Tak jarang memerlukan usaha ekstra. Tak jarang bisa sangat menguras tenaga dan pikiran. Bahkan, mungkin saja diperlukan bantuan orang lain untuk mengatasinya.
Melawan ketakutan dimulai dengan melawan rasa takut di dalam diri. Hal ini yang terkadang sulit. Rasa takut yang sudah tertanam di dalam pikiran tak mudah dihapuskan dan dihilangkan. Diperlukan energi lebih bak energi aktivasi dalam memulai sebuah pergerakan.
Kita pasti pernah mendengar seorang yang takut naik pesawat terbang. Bermacam-macam alasannya. Ada banyak sekali pikiran buruk di kepalanya. Takut cuaca buruk, takut mesin pesawat rusak, dan takut akan hal-hal lain yang terkadang tak masuk akal.
Padahal, ada berapa kecelakaan pesawat selama ini? Ada berapa kecelakaan pesawat dalam setahun terakhir? Berapa persentasi terjadinya kecelakaan pesawat dalam penerbangan? Ketika kita memikirkan hal itu semua, maka takut naik pesawat terbang menjadi hal yang tak masuk akal.
Ya, melawan rasa takut harus dimulai dari diri sendiri. Dimulai dari melawan pikiran yang ada di dalam diri. Ketika diri dapat memahami, rasa takut akan hilang. Keberanian akan muncul. Dan keberanian ini penting bagi seorang pemimpin.
Sebenarnya, seorang pemimpin juga harus memulai jiwa kepemimpinannya dari diri sendiri. Pemimpin harus menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri. Jika seorang pemimpin mampu menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, maka dengan sendirinya ia akan menonjol dan muncul sebagai pemimpin di lingkungan tempatnya berada.
Ulama terkenal Ustad Badiuzzaman Said Nursi pernah mengajarkan keberanian kepada muridnya dengan cara yang unik. Ustad tinggal dengan murid-muridnya di pedalaman hutan. Suatu hari, Ustad memerintahkan muridnya untuk mengambil air di tengah hutan. Tempat air berjarak kurang lebih lima belas menit perjalanan dari pondok yang mereka tinggali.
Tak disangka, sang murid menolak berangkat, karena takut. "Kenapa kamu takut?" Ustad bertanya. "saya takut akan binatang buas" jawab sang murid.
Mendengar jawaban sang murid Ustad mulai bercerita, "Beberapa hari yang lalu, ketika saya terbangun untuk shalat tahajud, ada seekor serigala masuk ke pondok kita. Serigala itu melewati kalian yang sedang tertidur. Saya kaget, kenapa serigala ini bisa masuk ke pondok kita.
Lalu beberapa menit kami saling memandang. Dengan bahasa halnya seolah serigala itu berkata, "Aku sudah masuk ke dalam pondokmu dan engkau tidak menghidangkan apapun, aku lebih baik pergi menuju Sang Maha Pemberi Rezeki yang hakiki."
Ustad melanjutkan, "Dari sini saya memahami. Jika saja kendali serigala itu ada pada dirinya, mungkin serigala itu telah memangsa kita semua. Namun, kendalinya bukan pada dirinya, tetapi ada pada penciptanya. Serigala tidak bisa melakukan apapun tanpa perintah dari Sang Pencipta.
Pelajaran bagi kita adalah bahwa jika kita melakukan sesuatu atas nama Sang Pencipta, maka kita tidak perlu takut akan apapun. Karena segala sesuatu ada dalam kendaliNya."
Ya, rasa takut yang paling hakiki adalah rasa takut kepada Sang Pencipta, bukan kepada ciptaannya. Oleh karenanya, seorang pemimpin yang berani harus menyandarkan sesuatunya kepada Sang Pencipta. Memulai sesuatu dengan Asmanya, dan mengakhiri dengan memujiNya.