Matahari pukul empat empat puluh lima sore itu matahariku. Matahari yang sedang merah. Matahari yang tak lagi bulat. Matahari yang hendak berlari, hendak sembunyi dibalik awan yang di mataku selalu berwarna kelabu.
Namaku Mentari. Lahir saat arloji ayahku menunjukkan pukul empat empat puluh lima sore. Lahir saat matahari sedang sembunyi. Lahir saat angin yang sejuk membelai dedaunan dan pepohonan di depan ruang tunggu klinik tempat ibuku bersalin. Lahir saat seekor burung gereja hinggap dan bertengger dengan anggun di sebuah kursi kayu. Ya, setidaknya itulah yang direkam oleh ingatan ayahku, dan yang kemudian terekam di benakku, di benak seorang Mentari yang sepi….dan yang tak lagi hangat seperti dulu.
Kamu mau tahu, arti mencintai seorang Ayah? Kuberitahu ya, arti mencintai seorang Ayah adalah selalu menangis bila muncul gambar dirinya di ingatanmu. Apapun itu gambarnya. Pernah aku melihat ayahku muncul dengan senyumnya yang selebar senyum seorang pekerja pemenang tender besar. Pernah pula aku melihat Ayahku muncul dengan lekuk-lekuk kulit di keningnya, dengan hidung yang kembang kempis, jari telunjuk kanan yang teracung dan kelima jemari kirinya diletakkan di pinggang. Ya, itu gambar Ayah ketika sedang marah. Mengerikan betul, sampai-sampai aku sering tak kuat melihatnya. Namun suatu hari, aku juga pernah melihat Ayah muncul dengan leher berpeluh dan punggung berkeringat. Kemeja putihnya lusuh, dasi murahannya tampak kotor. Tapi bau tubuh Ayah selalu harum. Ya, selalu harum. Silakan saja kalau kamu tak percaya. Mungkin kamu juga tak percaya kalau aku bilang, gambar-gambar tentang diri Ayah selalu menghampiriku kala arloji di tanganku menunjukkan pukul empat empat puluh lima sore.
Tapi sekarang masa sudah berganti, sosok luar biasa tersebut kini hanya menjadi bayang-bayang kenangan manis. Dan ibuku sosok yang selalu berada disamping ayahku, telah memilih untuk memulai hidup yang baru bersama sosok yangbiasa ku panggil dengan sebutan “Om”.